Limawaktu, - Lagu Indonesia Raya, ciptaan Wage Rudolf Soepratman alias W. R. Soepratman menjadi salah satu lagu tema kebangsaan terbaik. Buktinya, lagu yang rampung sekitar petengahan 1928 itu dijadikan lagu wajib saat upacara peringatan bendera merah putih.
Ketika Kongres Pemuda II, untuk kali pertama lagu itu diperdengarkan di tengah khalayak dengan gesekan biola Supratman, bersamaan dengan lahirnya Sumpah Pemuda.
Wage, sapaan akrab W.R. Supratman adalah seorang komponis. Banyak yang menganggap Wage hanya menciptakan lagu Indonesia Raya. Selain menggubah lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Wage juga menggubah banyak lagu-lagu perjuangan khususnya untuk golongan pemuda. Semua lagu ciptaannya digubah untuk menambah semangat kebangsaan dan cinta tanah air bagi perkumpulan pemuda.
Tapi, Wage, yang dulunya anak band dan jadi jurnalis itu semasa hidupnya pernah tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat. Ya, Wage sempat dirawat sekitar satu bulan di rumah orang tuanya di Jalan Warung Contong No. 28 R. 1/RW 9, Kelurahan Setiamanah, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi.
Kini rumah tersebut ditinggali oleh salah satu cicit Soepratman bernama Daniel Yudisanto (32). Rumah seluas kurang lebih 160 meter persegi ini dijadikan tempat usaha jasa fotocopy. Ayah Soepratman bernama Joemeno Kartodikromo, seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen.
"Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Dia tidak beristri, serta tidak pernah mengangkat anak," kata Daniel, Sabtu (9/12/2017).
Saat sakit, Wage pernah tinggal di Cimahi untuk sekedar istirahat. Rumah permanen seluas 160 meter persegi ini ditinggali orang tua Soepratman. Ia kerap tinggal dan berkunjung ke rumah orangtuanya di Cimahi. Terlebih saat ia menjadi wartawan di sebuah harian di Bandung.
Kedua orang tua Wage sudah tinggal di Cimahi sejak tahun 1910. Ketika itu rumahnya masih panggung dengan dinding terbuat dari bilik.
Masa pendudukan jepang tahun 1943, rumahnya sempat direnovasi menjadi rumah permanen dengan arsitektur khas Belanda. Setelah orang tua Wage meninggal dunia, rumah tersebut ditempati oleh kakak Wage, Ngadini Suratini.
Rumah tersebut pernah dikontrakan ke perusahaan waralaba, dan menjadi minimarket. Bagian muka bangunan yang klasik dirombak menjadi toko. Sehingga sebagian arsitektur klasiknya hilang.
"Iya dulu memang sempat dikontrakan dan dibikin minimarket. Mereka mengganti tehel dan beberapa bagian rumah. Sehingga kami tidak bisa mempertahankan bangunan rumah yang asli," ungkap Augustiani Hutabarat Sitinjak, cucu dari kakaknya Soepratman yang bernama Ngadini.
Ketika Soepratman berkunjung, kakak-kakaknya harus rela berbagi tempat tidur. Pasalnya hanya ada empat kamar di rumah tersebut. Dua kamar dipakai orangtua Soepratman, satu kamar dipakai kakak Wage, Soeprapto. Dan satu kamar dipakai Wage bersama kakak-kakak lainnya. Kamar keroyokan itulah yang sering dijadikan tempat tidur Wage saat berkunjung ke Cimahi.
Bahkan saat sakit keras, Wage tinggal disana selama sebulan penuh. Beberapa bulan setelah sakit, sang komponis akhirnya meninggal dunia di Surabaya.
Dari sekian banyak saudarannya, Wage lebih dekat dengan kakak sulungnya, Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Karena masih dalam zaman penjajahan Belanda, Roekijem memberikan nama Rudolf kepada Wage, dengan tujuan agar bisa mendaftar ke sekolah Europese Lagere School dan mendapat status, serta perlakuan yang sama dengan orang-orang Belanda.
Wage juga sempat mendalami bahasa Belanda selama tiga tahun sebelum melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah bernama Normaal School. (kit)