Limawaktu.id, Kota Bandung – Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim mendesak Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) untuk mencabut rencana pembangunan PLTU Jawa 3/ TJA Cirebon dari RUPTL 2021-2030 atau RUPTL selanjutnya tim juga meminta transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan infrastruktur energy, Pemerintah pusat tidak mesti memaksakan terus pembangunan PLTU kotor dan juga tidak harus ada rencana pembangunan listrik dengan akternatif baru karena pasokan listrik di Jawa Barat sudah mencukupi.
“Lahan yang sudah berpindah pada perusahan segera ambil alih negara dan berikan kembali pengusaan haknya kepada Masyarakat,” terang Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Wahyudin Iwang, dalam keterangan persnya, Rabu (15/1/2025).
Dia menjelaskan, Sebuah langkah penting dalam upaya melindungi Lingkungan hidup di Indonesia telah dimulai. Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim, secara resmi telah mengajukan gugatan lingkungan hidup terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 3/Tanjung Jati A (TJA) di Cirebon yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada tanggal 2 Desember 2024. Dimana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai penggugat dalam perkara ini.

Gugatan ini didasarkan pada sejumlah alasan mendasar yang mencakup potensi kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, serta ketidaksesuaian proyek ini dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Paris. Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM untuk segera mengeluarkan proyek PLTU Jawa 3/TJA Cirebon dari RUPTL 2021-2030 demi memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.
“Dalam gugatan ini, kami menegaskan bahwa rencana proyek PLTU berbahan bakar batu bara dengan kapasitas 2x660 MW tersebut berkontribusi kepada perubahan iklim,” jelasnya.
Menurut dia, Proyek ini diperkirakan akan menghasilkan lebih dari 480 juta ton emisi karbon. Selama masa operasinya, PLTU Jawa 3/TJA Cirebon dinilai mengancam kelestarian lingkungan serta berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signikan terhadap lingkungan hidup dalam wujud penurunan kualitas udara, kesehatan publik, penurunan kualitas air laut, serta semakin parahnya perubahan iklim.
Pembangunan dan Operasional PLTU Jawa 3/TJA Cirebon berpotensi membebani keuangan negara. Saat ini, kondisi kelistrikan jawa-Bali sudah kelebihan pasokan. Tambahan produksi listrik dari PLTU Jawa-3/ Tanjung Jati A di Jawa-Bali, membuat resiko tidak terserapnya listrik ke konsumen semakin tinggi.
Sementara itu PT. PLN terbebani untuk membayar listrik yang dihasilkan sesuai dengan kesepakatan Perjanjian Jual Beli. Dalam perjanjian tersebut, PLN harus membeli semua tenaga listrik yang dihasilkan oleh pengembang swasta, walaupun tenaga listrik tersebut tidak terserap oleh pasar. Skema ini dikenal sebagai sistem take or pay.
“Sampai saat gugatan ini dilayangkan, PLTU Jawa-3/ TJA masih belum mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan untuk melakukan pembangunan. Hal tersebut dapat dilihat dalam RUPTL PLN 2021-2030 statusnya masih pendanaan. Bahkan status tersebut tidak pernah berubah sejak tahun 1997,” katanya.
Dia menyebutkan, pada tahun 2022 Tim Advokasi Hak atas Keadilan Iklim pernah mengajukan gugatan izin lingkungan PLTU Jawa-3/pltu tja di PTUN Bandung. Putusan tersebut pada pokoknya membatalkan izin lingkungan dan telah berkekuatan hukum tetap. Putusan ini menguatkan pandangan tim advokasi hak atas keadilan iklim bahwa perencanaan PLTU Jawa-3/ Tanjung Jati A harus dikeluarkan dari RUPTL PLN. Gugatan ini menjadi penanda penting dalam upaya perlindungan lingkungan dan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon di tengah desakan global untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara.
Pembangunan PLTU berbahan bakar fosil tidak hanya akan memberikan praktek kotor dalam kegiatannya, pada proses perencanaanya pun sangat kotor, dapat kita lihat bersama di beberapa tempat praktek korupsi sangat berpotensi terjadi, fakta yang terjadi dapat kita lihat di PLTU 2 Cirebon, PLTU I Indramayu serta praktek korupsi di PLTU Riau. lebih jauh dari itu negara akan terus terbebani oleh beban hutang untuk menjalankan pembangunan tersebut.
“Proyek PLTU Batubara akan terus meberikan kontribusi buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat baik nelayan serta buruh tani ke depan, biaya pemulihan akan semakin besar dan tidak akan sebanding dengan kerusakan yang akan muncul oleh aktivitas kotor tersebut, nelayan akan semakin terjepit buruh tani pun akan kehilangan akses ruang dan merenggut mata pencaharian yang selama ini menghidupi kehidupan mereka,” bebernya.
Maka dengan itu, Walhi mendesak pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian ESDM agar tidak ambisi untuk menjankan terus pembanguan PLTU yang akan mengancam keselamatan rakyat dan memperburuk kerusakan lingkungan kedepan tidak merencanakan serta memasukan rencana baru sebagai alternatifnya, dan berikan pengusaan penuh untuk mengelola lahan kepada msyrakat setempat.
Perjalanan tim advokasi hak atas keadilan iklim atas rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati a sudah cukup panjang. Sebelumnya, telah ada putusan progresif yang membatalkan AMDAL dari perencanaan PLTU Tanjung Jati A, karena dalam AMDAL tersebut tidak mempertimbangkan unsur perubahan iklim. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu tidak direspon pemerintah.
Dikatakannta, meskipun di lapangan pembangunan PLTU Tanjung Jati A belum dilanjut, namun secara administratif rencanan pembangunannya masih tercantum dalam Rencana Umum Pembangunan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030. Dokumen tersebut menjadi dasar dari rencana pembangunan ketenagalistrikan di Indonesia. Maka, masih ada kemungkinan PLTU Tanjung Jati A akan tetap dibangun meskipun telah ada putusan pengadilan yang membatalakan izin lingkungannya.
Tindakan pemerintah yang tidak mencabut PLTU Tanjung Jati A dari RUPTL 2021-2030, setelah ada nya putusan PTUN Bandung yang berkekuatn hukum tetap menunjukan tindakan pemerintah yang tidak mengindahkan putusan pengadilan.
“Maka, kami menggugat Menteri ESDM untuk mengeluarkan PLTU Tanjung Jati A dari RUPTL 2021-2030 melalui PTUN Jakarta,” paparnya.
Gugatan ini masih ada beberapa nilai yang sama dari gugatan sebelumnya. Yakni scientic evidence. Jawa barat ini lumbung PLTU. Jika ditambah lagi PLTU baru, akan menambahkan beban ekologis.
Hasil analisis Mark Chernaik, saksi ahli dari Environmental Law Alliance Worldwide (ELAW) mengatakan, PLTU Tanjung Jati A akan melepaskan emisi karbon sebesar 7 juta ton CO2 setiap tahunnya dan 220 juta ton CO2 selama 30 tahun. PLTU ini juga akan memberikan kerugian ekonomi sosial sebesar 6,7-22 triliun oleh karena pelepasan karbon.
“Kami menggugat ini untuk mereeksikan bahwa negara perlu mengakselerasi putusan yang telah kami gugat sebelumnya. Konsistensi negara dalam proyek hilirasasi masih berlanjut di masa pemerintahan Prabowo,” pungkasnya.