Sabtu, 25 Januari 2020 13:30

Subsidi Gas Si Melon akan Dicabut, Warga Cilame ini Kenalkan Tekonologi Agar Dapur Tetap 'Ngebul'

Wiji Setyo Pamuji (41) menyulap kotoran ternak dan sampah organik menjadi biogas
Wiji Setyo Pamuji (41) menyulap kotoran ternak dan sampah organik menjadi biogas [Fery Bangkit]

Limawaktu.id - Merebaknya pencabutan subsidi Lequified Petroleum Gas (LPG) 3 Kg menjadi bahasan tak mengenakan akhir-akhir ini di tengah masyarakat. Tak jarang, masyarakat, khususnya dari kalangan menengah ke bawah keberatan dengan kebijakan dari pemerintah pusat itu.

Sebab, dengan dicabutnya subsidi itu maka harga gas yang kerap disebut 'Si Melon' itu akan sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat. Penggunaan energi alternatif terbarukan mungkin bisa menjadi solusi, untuk memangkas biaya operasional dapur agar tetap 'ngebul'.

Ternyata, penggunaan energi terbarukan itu sudah diaplikasikan oleh Andrias Wiji Setyo Pamuji (41), warga Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Ia menyulap kotoran ternak dan sampah organik menjadi biogas yang kemudian digunakan untuk memasak.

"Teknologi biogas ini sangat sederhana, bahan bakunya hanya kotoran sapi, sampah organik atau dari industri kecil seperti ampas tahu, tempe atau kue," kata Andrias di Ngamprah, Sabtu (25/1/2020).

Andrias memanfaatkan biogas, untuk menyalakan kompor dapur dan penerangan serupa patromak. Biogas dari tabung penampungan, disalurkan melalui pipa-pipa berkatup.

Dalam sehari, kata dia, biogas dapat digunakan dua sampai tiga jam untuk memasak kebutuhan rumah tangga. "Untuk satu meter kubik, bisa menggantikan LPG selama setengah kilogram," katanya.

Menurut pria lulusan Teknik Kimia Insitut Teknologi Bandung (ITB) itu, cara kerjanya adalah, bahan organik tersebut ditampung di dalam tabung penampungan kedap udara, yang ditanam di dalam tanah. Bakteri dalam bahan organik tersebut akan menghasilkan gas metana (CH4) dan CO2.

"Jadi saat kita membuat ruangan tertutup dengan saluran masuk dan keluar, kita masukkan biomassa (bahan organik penghasil energi) dan nantinya akan menjadi biogas yang bisa kita manfaatkan," jelas Andrias.

Dilanjutkannya, teknologi biogas tepat digunakan bagi pemilik ternak. Selain, biomassanya mudah didapatkan, reaktor biogas ini juga bisa meminimalisasi limbah kotoran hewan agar tak dibuang begitu saja ke sungai.

"Jadi bila nanti sistem pembuangannya sudah tersusun, kotorannya bisa masuk ke reaktor saat kandang dibersihkan. Kotoran yang lama, akan terbuang ke luar dan bisa dijadikan pupuk organik, jadi tak ada yang sia-sia," terangnya.

Kemudian, kata Andreas, bisa juga dicampur dengan sampah dapur organik yang akan menambah kualitas gas. "Dan pupuk organiknya pun semakin bagus karena kaya nutrisi," ucapnya.

Kendati begitu, masyarakat non-peternak pun bisa memanfaatkan reaktor ini dengan memanfaatkan sampah organik, seperti sayur atau buah-buahan, atau juga dari kotoran dalam septic tank.

"Untuk non-peternak, mungkin dari satu reaktor bisa mengurangi 50-60 persen dari konsumsi gas LPG mereka perhari," sebutnya.

Meski ramah lingkungan, Andrias mengakui untuk membangun reaktor biogas membutuhkan biaya yang tak sedikit. Untuk satu tabung dari bahan fiberglass, minimal harus merogoh kocek hingga Rp 5 juta.

"Mungkin ini akan berat di awal, tapi kalau dari segi investasi mungkin menguntungkan dari segi biaya konsumsi gas tiap tahunnya, oleh karena itu perlu ada solusi pembiayaannnya, misa dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau Dana Desa ,"bebernya.

Baca Lainnya