Limawaktu.id - Geliat bisnis kompor minyak tanah kini semakin tenggelam. Alat masak tradisional itu kalah bersaing dengan alat masak yang lebih modern seperti kompor gas.
Tanda-tanda redupnya bisnis alat masak tradisional itu terlihat sejak adanya kebijakan pemerintah dalam mengonversi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji.
Meski semakin ditinggalkan, ternyata masih ada masyarakat yang bertahan menjalankan bisnis kompor minyak tanah. Sosok itu adalah Kurdi (69).
Warga RT 01 RW 09 Desa Margajaya, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB) itu sudah puluhan tahun bertahan membuat kompor minyak. Hingga kini, ia bertahan sendirian, walau menentang arus zaman.
Kurdi membuat kompor minyak dengan peralatan yang sederhana, hanya palu dan empat alat lainnya yang masing-masing memiliki fungsi khusus.
"Saya hampir 28 tahun bekerja di pabrik kompor di Curug Muyung, tapi kemudian pabriknya mulai bangkrut setelah ada kebijakan mengganti minyak ke LPG, zaman pak SBY-Kalla waktu itu," kata Kurdi, Senin (20/5/2019).
Sang pemilik pabrik pun, ujar Kurdi, meninggal dunia tak lama setelah bisnisnya menyusut pasca konversi energi tersebut dilakukan beberapa tahun lalu.
"Bisnis juga dihentikan seluruhnya karena anak dari pemilik juga tidak meneruskan usaha orang tuanya, akhirnya para pekerjanya bubar, ada yang kerja di proyek, dan saya memilih jadi pembuat kompor lagi," ungkapnya.
Kurdi mengatakan, di antara pembuat kompor minyak yang tersisa adalah rekan seperjuangannya yang juga pernah bekerja di Curug Muyung. Ia adalah H Udin di Kampung Kapeh, Padalarang yang juga menekuni usaha yang sama.
"Beda kalau dia, punya modal, belakangan dia bikin oven juga dan jarang membuat kompor lagi, mungkin karena pasarnya juga sepi," ujarnya.
Di gudang rumahnya, Kurdi berjibaku membuat kompor minyak selama kurang lebih 10 tahun. Ia bekerja sendiri tanpa dibantu pegawai. "Kalau mau pakai pegawai lumayan berat modalnya, untuk beli bahan-bahan kompor saja sudah pas-pasan," katanya.
Saat awal merintis usaha mandiri, Kurdi masih menerima ratusan pesanan untuk dikirimkan ke Pamanukan, Garut. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai jarang menggunakan kompor minyak.
"Sekarang hanya melayani pemesan saja, kebanyakan pedagang kaki lima seperti cuankie, dalam sehari kalau fokus bisa membuat dua atau tiga kompor," katanya.
Kompor-kompor tersebut ia jual dengan berbagai harga. Mulai dari 35 ribu hingga 50 ribu, tergantung ukuran dan banyaknya sumbu. "Saya sih berharap ada modal untuk membuat produk lainnya selain kompor, karena sulit bergerak juga karena tak ada modalnya," tandasnya.