Limawaktu.id, Jakarta - Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad menepis isu pembahasan revisi RUU TNI dilakukan secara diam-diam.
"Tidak ada rapat diam-diam karena rapat yang dilakukan di hotel itu adalah rapat terbuka. Boleh dilihat di agenda rapatnya, itu rapat diadakan terbuka," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.
Menurutnya, aksi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menggeruduk Hotel Fairmount,dikatakan Dasco seharusnya terlebih dahulu mengirimkan surat resmi jika ingin memberikan masukan.


“Tidak aka nada masalah jika KontraS atau pihak lain terlebih dahulu memberikan surat resmi. Sebab, rapat tersebut digelar secara terbuka,” katanya.
Dia menjelaskan, jika ada anggota NGO NGO, ada yang ingin memberikan masukan, kemudian memberikan saja pernyataan atau surat resmi untuk ikut.
“Saya piker kalau sebelumnya mengirimkan surat enggak ada masalah," jelasnya.
Sementara menanggapi kericuhan yang terjadi saat KontraS mendatangi Hotel Fairmount untuk mengkritik jalannya rapat, Dasco menegaskan hal itu di luar kekuasaan DPR. Alasannya, karena KontraS tak memberitahu bakal mendatangi rapat konsinyering Panja Revisi UU TNI.
Diberitakan Limawaktu.id sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melayangkan protesnya saat Pemerintah dan DPR menggelar rapat untuk percepatan pembahasan RUU TNI di hotel mewah berbintang 5 Fairmont Jakarta pada Jumat-Sabtu, 14-15 Maret 2025. Padahal sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir mengaku RUU TNI tidak akan disahkan sebelum masa reses Lebaran 2025.
Dia mengatakan, pengesahan RUU TNI baru bisa dilakukan paling cepat pada masa persidangan berikutnya. Di tengah sorotan publik terhadap revisi Undang-Undang TNI, Pemerintah dan DPR justru memilih membahas RUU ini secara tertutup di hotel mewah pada akhir pekan.
Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Andri Yunus memandang langkah ini sebagai bentuk dari rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi yang berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara.
Secara substansi, RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Selain itu, agenda revisi UU TNI justru akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri dan sangat berpotensi mengembalikan Dwifungsi TNI dimana militer aktif akan dapat menduduki jabatan-jabatan sipil.
“Perluasan penempatan TNI aktif di jabatan sipil, tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, dan loyalitas ganda,” ungkap Andri dalam siaran persnya, Mingggu, 16 Maret 2025.