Limawaktu.id, Indramayu - Bencana Banjir Rob yang menerjang wilayah pesisir Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu pada 29 Januari 2025 kembali mempertontonkan kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya. Tim Desk Disaster WALHI Jabar menemukan fakta mencengangkan bahwa tragedi yang menimpa ribuan warga ini sebenarnya dapat diminimalisir jika pemerintah tidak mengabaikan tanda-tanda kehancuran ekosistem pesisir selama puluhan tahun.
"Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah bencana yang dipercepat oleh kebijakan pembangunan yang mengabaikan keselamatan masyarakat pesisir," tegas Tim Investigator WALHI Jabar, Jundi Maulana M dan Nisfy Hardiani, dalam siaran pers yang diterima Limawaktu.id, Selasa, 11 Februari 2025.
Dia menyebutkan, Investigasi WALHI Jabar mengungkap fakta mengejutkan tentang skala kehancuran yang terjadi. Tidak kurang dari 845 jiwa menjadi korban langsung dari kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat.

Di Desa Eretan Kulon saja, 135 rumah terendam dengan ketinggian air mencapai 2 meter, menenggelamkan harapan warga akan kehidupan yang aman. Dari jumlah tersebut, 8 hingga 10 rumah mengalami rusak berat dan 15 hingga 20 lainnya rusak ringan. Kondisi ini memaksa 104 warga mengungsi ke Kantor Desa Kertawinangun, sementara seorang warga mengalami luka-luka. Yang lebih mencengangkan, dalam kurun waktu 44 tahun terakhir, Eretan telah kehilangan sekitar 10 kilometer daratannya ke laut.
"Ini bukan sekadar angka statistik, ini adalah hilangnya tanah kelahiran, rumah, dan mata pencaharian warga," ungkap Damuri dari Siklus Indramayu.
Bahkan, seorang warga Jepang yang datang untuk mencari makam leluhurnya di desa ini harus menelan kekecewaan karena lokasi makam tersebut kini telah berada di tengah laut.
Investigasi menemukan bahwa pemerintah telah gagal total dalam melindungi masyarakat pesisir. Di sepanjang pantai Eretan, hanya terdapat satu alat pemecah ombak, sebuah fakta yang mencerminkan betapa minimnya perhatian pemerintah terhadap keselamatan warga. Tanggul yang ada pun hanyalah tanggul darurat dari batu yang mudah terkikis, tanpa ada sistem peringatan dini yang memadai.
"Aktivitas pengeboran gas alam di lepas pantai Cirebon-Indramayu oleh anak perusahaan Pertamina diduga kuat berkontribusi terhadap percepatan abrasi," ungkap Damuri.
Menurut Jundi Maulana, Pemerintah seolah lebih mementingkan keuntungan korporasi dibanding keselamatan warganya.
Meski pemerintah mengklaim telah memulai program relokasi dengan membangun 93 rumah pada akhir 2024, jumlah ini bagaikan setetes air di lautan mengingat ribuan warga yang terancam. Program relokasi yang setengah hati ini jelas menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani krisis yang dihadapi masyarakat pesisir.
Banjir rob telah melumpuhkan seluruh sendi kehidupan masyarakat. Para nelayan kehilangan mata pencaharian karena tidak bisa melaut, sementara tambak-tambak ikan hancur menghapus sumber penghasilan petani tambak. Perabotan rumah tangga dan alat tangkap nelayan rusak, menambah daftar panjang kerugian yang harus ditanggung warga.
Lebih dari itu, warga kini harus menghadapi ancaman kesehatan akibat sanitasi yang buruk dan air rob yang tercemar. WALHI Jabar menuntut pemerintah untuk segera membangun tanggul permanen berkualitas tinggi di sepanjang pesisir dan memasang setidaknya 10 alat pemecah ombak di lokasi-lokasi strategis. Program rehabilitasi mangrove harus dilakukan secara masif untuk mengembalikan pertahanan alami pesisir.
“Lebih dari itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas industri di wilayah pesisir, termasuk moratorium izin eksplorasi baru dan audit lingkungan terhadap operasi industri yang ada,” kata Jundi.
Dia menjelaskan, Program relokasi juga harus diperluas mencakup minimal 1.000 unit rumah layak huni, dilengkapi dengan penyediaan mata pencaharian alternatif dan jaminan akses terhadap fasilitas publik. Sistem peringatan dini modern harus dibangun, disertai dengan pelatihan kesiapsiagaan bencana dan pembentukan tim tanggap darurat lokal yang terlatih.
"Jika pemerintah tetap mengabaikan nasib masyarakat pesisir, WALHI Jabar siap mengambil langkah hukum untuk memastikan hak-hak warga terpenuhi," jelasnya.
Dia memaparkan, sudah cukup masyarakat pesisir menjadi korban pembangunan yang tidak berkelanjutan." WALHI Jabar mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu mengawasi proses pembangunan infrastruktur mitigasi, mendokumentasikan setiap pelanggaran dan pengabaian, serta membentuk gerakan solidaritas untuk masyarakat pesisir. Transparansi penggunaan anggaran mitigasi bencana harus menjadi prioritas untuk memastikan setiap rupiah benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
"Bencana ini adalah alarm keras yang tidak bisa lagi diabaikan. Berapa banyak lagi rumah yang harus hancur? Berapa banyak lagi mata pencaharian yang harus hilang sebelum pemerintah benar-benar bertindak?, " paparnya.