Selasa, 3 April 2018 12:14

Tanggalkan Persepsi, Selami Kebenaran

Ilustrasi.
Ilustrasi. [Limawaktu]

Terjemahan bebas oleh Herry Mardian

Suatu ketika, Siddharta 'Buddha' Gautama bercerita kepada para muridnya:

Ada seorang Ayah yang istrinya telah lama meninggal. Satu-satunya keluarga yang tersisa hanyalah seorang anak lelaki berusia lima tahun yang teramat sangat dia cintai.

Suatu ketika, ketika Sang Ayah sedang pergi berdagang, segerombolan perampok datang ke desanya, merampok dan membakar segalanya. Tidak hanya itu, mereka juga membawa serta si bocah lima tahun itu untuk diperbudak.

Ketika Sang Ayah pulang, dia begitu terpukul melihat desanya, dan rumahnya, yang habis terbakar. Di bawah puing-puing, dia melihat jasad seorang anak yang telah hangus terbakar, dan pemandangan ini membuatnya lebih menderita lagi. Ia menjambak-jambak rambutnya sendiri, memukuli dadanya sendiri, dan melolong-lolong meratapi nasibnya.

Ia lalu mengadakan upacara kremasi, dan abu bakaran jasad anak ini disimpannya di sebuah kantong beludru yang sangat indah. Ia membawa kantong ini kemana pun ia pergi: ketika bekerja, makan, ketika tidur, kantong abu ini selalu ada di sisinya.

Suatu hari, beberapa tahun kemudian, anaknya berhasil meloloskan diri dari tawanan perampok. Ia berhasil pulang ke desanya. Dia sampai di pondok ayahnya ketika tengah malam, dan langsung mencoba membuka pintu. Tapi terkunci. Ia lalu mengetuknya. Di dalam, ayahnya ketika itu masih menimang-nimang kantong abu, sambil menangis meratapi anaknya--hal yang selalu dilakukannya setiap malam.

Mendengar pintu diketuk, ia bertanya, "Siapa itu?"

Dan jawaban yang didengarnya dari luar adalah, "Ini aku, Ayah. Bukalah pintu. Anakmu pulang."

Sang Ayah merasa terganggu, dan sangat marah. Ia mengira ada anak dari desa --yang sangat tidak berperasaan--sedang menggodanya, mempermainkan kesedihannya.

"PERGI! Jangan menggangguku!" teriak Sang Ayah. Dan ia bertambah sedih di dalam, karena merasa kini bahkan anak-anak desa pun sudah memperolok-oloknya.

Di luar, anaknya terus mengetuk dan memanggil, tapi Sang Ayah semakin lama pun semakin bersikeras untuk mengusirnya, dan tidak lagi menjawab panggilannya. Beberapa waktu berlalu, dan karena panggilannya tidak lagi memperoleh jawaban, Sang Anak pun patah hati. Ia lalu pergi dari rumah ayahnya. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi bertemu satu sama lain.

Setelah menceritakan ini, Buddha berkata:

"Kadang kalian menganggap sesuatu sebagai kebenaran. Tapi kalau kalian menggenggamnya begitu keras dan tidak mau membukanya lagi, ketika kebenaran yang sejati benar-benar datang dan mengetuk pintumu, kalian tidak akan mau membuka pintu."

Begitulah, jika kita ingin melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, kita harus siap untuk menyingkirkan dulu pandangan-pandangan kita tentang sesuatu.

Baca Lainnya