Limawaktu.id- Sahabat adalah orang yang dekat dengan kita. Namun, bersahabat juga bisa dilakukan terhadap persoalan hidup sehari-hari. Sesuatu yang seharusnya menjadi lawan, harus kita hadapi sebagai tantangan. Bahkan, kalau bisa kita taklukkan, maka persoalan hidup akhirnya bisa berkembang menjadi sahabat yang tidak perlu kita khawatirkan.
Setiap hari kita selalu dihadapkan dengan berbagai persoalan hidup. Misalnya persoalan rasa sedih dan kecewa. Masalahnya, kita sudah terbiasa tidak siap menghadapinya, sehingga menimbulkan derita. Padahal, kehidupan manusia pasti tak akan lepas dari masalah, karena hal itulah yang membuat kita hadir di muka bumi ini. Bukankah manusia ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pemimpin? Salah satu tugas seorang pemimpin adalah menyelesaikan masalah.
Banyak hal yang bisa membuat kita sedih, misalnya karena sering terkena musibah (kecelakaan, sakit, ditipu orang, putus pacar, gagal menikah, dan sebagainya), dililit hutang, terkena PHK, bercerai dengan suami/istri yang sangat dicintai, usaha rugi terus, dan lain-lain. Semua masalah tersebut seakan-akan membuat kita menjadi orang yang paling menderita di muka bumi ini, sehingga dunia terasa sempit.
Benarkah setiap musibah yang menimpa kita pertanda Tuhan tidak berpihak kepada kita? Benarkah kita termasuk manusia yang paling sial di dunia? Jika hal itu benar, maka itu artinya Tuhan tidak adil. Benarkah Tuhan tidak adil? Jangan-jangan justru selama ini kita yang salah dan kurang bersyukur, sehingga Tuhan menegur kita dengan kuasa-Nya.
Jika kita termasuk orang yang sedang kurang beruntung, coba belajar dari roda pedati. Kadang roda itu bergerak melewati jalan datar dan mulus, sehingga perjalanan kita pun terasa nyaman, tanpa getaran dan guncangan yang berarti. Namun, ketika roda itu menemui jalan rusak, bergelombang, penuh lubang dan lumpur, maka perjalanan pun akan terhambat. Bahkan, terkadang roda tersebut slip karena licin, sehingga roda pedati jadi tersendat dan pedati pun berjalan di tempat.
Berbagai upaya sudah kita lakukan untuk melepas roda dari jebakan lumpur, sehingga akhirnya terlepas dari slip. Roda tersebut lalu kembali berputar dan pedati pun melanjutkan perjalanannya. Ketika melewati tebing yang curam, roda pedati pun berjalan kencang. Kalau tidak bisa dikendalikan, maka pedati pun bisa masuk jurang. Kemahiran kita mengendalikan pedati pun dipertaruhkan.
Ketika posisi pedati sampai di dasar jurang, kini saatnya roda melaju perlahan karena harus menghadapi tanjakan. Kalau kuda penarik beban tidak kuat menahan, bukan mustahil pedati akan berhenti sejenak untuk beristirahat mengumpulkan kekuatan atau justru mundur ke belakang dan berpotensi masuk ke jurang.
Begitulah perjalanan hidup ini penuh dan warna. Kadang ada yang datar, kadang pula ada yang turun dan mendaki. Semua harus kita lalui dengan sepenuh hati. Tidak ada yang perlu disesali, karena semua ini adaah ketentuan Illahi.
Ada saatnya kita gembira, tetapi ada pula saatnya bersedih. Semua ini merupakan hukum alam dan sudah ditakdirkan- Nya. Jika kita sedang bersedih, tak perlu berlarut-larut, sehingga membuat kita menderita berkepanjangan.
Cobalah melihat ke atas awan. Ada langit yang biru yang terbentang. Nun jauh di atas sana terdapat bulan, matahari, dan gugusan bintang-bintang. Semua benda ciptaan-Nya tersebut bertebaran di alam semesta. Lalu bdaningkanlah bumi ini dalam pikiran kita, maka akan terasa bagaikan butiran debu, apalagi diri kita.
Dibalik alam semesta ini, ada Dia sang Maha Pencipta. Dialah yang mampu menolong kita dari semua penderitaan. Jika kita jauh, maka Dia akan menjauh. Namun, jika kita dekat, maka Dia menjadi semakin dekat. Bahkan, lebih dekat dari urat leher kita sendiri.
Mari kita bersujud dan minta ampun pada-Nya atas segala dosa yang pernah kita perbuat. Kita tidak sendiri, karena selalu ada Dia yang siap menemani. Hanya saja selama ini kita justru yang tidak tahu diri, sehingga Dia pun berlari. Kalau saja kita mau intropeksi diri dan merebahkan wajah kita ke bumi, maka nur Illahi akan datang menghampiri dan mengisi relung jiwa yang sunyi.
Selain rasa sedih, kita juga sering mengalami rasa kecewa. Saat kita kecewa, pikiran dan hati kita pasti akan gundah gulana. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Semua itu terjadi karena kita tak mampu merawat kecewa menjadi puas dan bahagia. Sumber kecewa adalah harapan yang berlebihan terhadap suatu keinginan yang tidak kesampaian.
Banyak sekali yang bisa kita jadikan contoh kasus yang berhubungan dengan kekecewaan. Misalnya kita pernah dijanjikan oleh atasan di kantor untuk memperoleh bonus jika bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Ternyata setelah kita berhasil memenuhi target yang ditentukan, bonus yang dijanjikan tidak ditunaikan. Bonus tidak keluar sesuai dengan janji yang pernah diungkapkan, sehingga membuat kita kecewa dan bermuram durja.
Contoh lainnya soal mendidik anak. Sejak kecil anak dirawat dengan penuh kasih sayang. Anak dibesarkan dan disekolahkan, sehingga sukses menggapai masa depannya. Setelah bekerja dan menikah, dia hidup senang dengan istri dan anak-anaknya. Ternyata karena kesibukannya, kita jarang dihubunginya. Lantas kita kecewa karena merasa anak sudah tidak lagi sayang, padahal kita sudah mulai tua dan ingin sekali mendapatkan perhatiannya.
Apapun yang menjadi penyebab rasa kecewa, sebaiknya kita harus bisa menepisnya. Kita bisa belajar dari derasnya air sungai yang mengalir di alam liar. Meskipun ada batu-batu besar dan pohon tumbang yang siap menghadang perjalanannya, tetapi air tetap saja mencari celah untuk bisa mengalir. Ia tidak protes dan terus bergerak menuju ke lautan lepas. Bagi air, halangan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihadapi dan dilalui.
Hidup ini selalu berpasang-pasangan. Kalau ada rasa puas, maka akan ada rasa kecewa. Keduanya merupakan pasangan yang tak terpisahkan. Saat menghadapi rasa kecewa, kita harus belajar seperti air. Lenturkan hati kita dalam menghadapi berbagai persoalan. Jangan jadikan rasa kecewa menjadi dendam yang bersembunyi di dalam dada. Jika ini terjadi, maka hati akan menyempit, dada menjadi sakit, dan pikiran kita pun ikut menjerit, sehingga hidup kita menjadi sulit.
Lapangkan dada kita. Beri ruang yang luas untuk sebutir rasa kecewa agar bisa bersenggama bersamanya. Semakin luas ruang dalam dada, maka semakin kecil dan tak berarti rasa kecewa yang ada dalamnya. Sebaliknya jika dada kita sempit, maka butiran rasa kecewa itu akan sering menari-menari dan bergerak ke sana kemari sembari mengetuk dada. Akibatya hanya rasa pedih dan perih yang kita terima.
Lupakan rasa kecewa dengan berpikir positif. Pikirkan tentang kebesaran Tuhan yang sengaja menggagalkan harapan kita, karena Tuhan punya recnana lain. Dia akan memberikan sesuatu yang terbaik untuk diri kita sebagai penggani rasa kecewa. Rencana Tuhan belum tentu mampu kita pikirkan. Oleh sebab itu tetaplah hidup dan bersahabat dengan rasa kecewa dengan tetap melakukan upaya sambil berdoa, karena Tuhan tak mungkin bedusta dengan ayat-ayat-Nya.
Oleh: Jehaka Barajati