Sabtu, 27 Januari 2018 12:29

Menelusuri Korelasi Tauhid Antara Sunda Wiwitan dan Islam

Ilustrasi.
Ilustrasi. [Net]

Penulis: Ashoff Murtadha*, Direktur Studi islam Bandung

Beberapa bulan lalu mencuat berita tentang sunda wiwitan (SW), menyangkut masyarakat Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan. Sebagai sebuah tema, cukup banyak tulisan dan bahasan tentang SW di angkat. Namun kebanyakan yang diulas adalah dari sisi sosiologis, yang berkaitan dengan persoalan hak tanah adat serta eksistensi mereka yang tidak diakui sebagai agama di Indonesia.

Belakangan, tema SW kembali ada yang mengangkatnya karena alasan politis menjelang Pilkada, terutama berkaitan dengan Pilgub Jabar 2018, di mana Jabar merupakan tempat di mana Sunda Wiwitan berada.

Yang menarik dibahas tentang SW sebenarnya bukan hanya secara sosiologis, tetapi juga secara teologis. Karenanya tulisan ini lebih menyorot sisi teologis ketimbang yang lainnya. Saya lebih tertarik membahasnya dari sisi keilmuan. Bahasan tentang sisi teologis Sunda Wiwitan juga akan menarik dibicarakan oleh kalangan yang menggandrungi kajian tentang tema keyakinan dan ketuhanan.

Seperti mulai banyak diulas oleh para pengkaji Kasundaan dulu dan belakangan, kredo SW menganut keyakinan monotestik, atau tauhid dalam diksi Islam. Jika Islam menegaskan konsep Allah Al-Ahad, SW menegaskan konsep Hyang Tunggal. Diksi berbeda, maksud bisa jadi sama. Tuhan para penganut SW adalah Sang Hyang Keresa yang bersifat tunggal, Esa.

Dalam Al-Quran, Zat Yang Maha Tunggal biasa disebut dengan Allah dan nama-nama lain dalam Asmaul Husna dan selainnya. Di antara itu semua, lafal Allah paling banyak disebut. Namun menarik diamati, Al-Quran juga mengisahkan bahwa Nabi Musa menyebut dan memanggil-Nya hanya dengan kata “Rabb” yang artinya Tuhan. Seingat saya, dalam Al-Quran, Nabi Kalimullah ini tidak pernah memanggil-Nya dengan sebutan Allah, atau Allahumma. Ia memanggil-Nya dengan Rabb.

Perhatikan juga bagaimana Nabi Adam berdoa dan mengakui kekhilafannya setelah mendekati Pohon, ia memanggil-Nya dengan Rabbana, bukan Allahumma. Berbeda dengan Nabi Isa dan Nabi Muhammad, di mana dalam Al-Quran atau hadits disebutkan bahwa keduanya memanggil dengan nama Allah, misalnya saat berdoa dengan menyebut Allahumma, yang artinya “Ya Allah.”

Lalu apakah Tuhan para nabi itu berbeda? Tentu saja tidak. Mereka sama-sama memiliki kalimatun sawa’, Tuhan yang sama, Tujuan yang sama. Sekalipun mereka berbeda generasi, budaya, tantangan dan sebagian ritualnya, mereka disatukan oleh keesaan Pencipta.

 Sementara di ayat yang lain, Al-Quran menyatakan bahwa setiap umat (di mana pun dan generasi kapan pun) memiliki rasulnya masing-masing. Tentu saja setiap rasul mengajarkan kalimatun sawa (kalimat yang sama), yakni ketauhidan Tuhan. Sekalipun nama panggilan, operasional ritus penghambaan yang berbeda, mereka sama-sama mengesakan-Nya dan menuju Zat yang sama dan satu.

Ketika para peneliti menyimpulkan bahwa Sunda Wiwitan itu berketuhanan yang esa, sangat mungkin karena dulu ajaran ini dibawa dan diajarkan oleh nabi atau rasul yang pernah ada di negeri Sunda. Sunda yang dimaksud bisa jadi Sunda spesifik yakni wilayah Jawa Barat, atau Sunda yang bermakna Nusantara ini. Dulu dalam ilmu geografi kita mengenal istilah Sunda Kecil dan Sunda Besar. Sunda Besar adalah Nusantara ini.

 Jika sejarah mencatat bahwa “agama” Sunda sudah ada paling muda pada tahun 100 an Masehi (lima abad sebelum Nabi Saw lahir), dan mungkin lebih tua dari masa itu, maka bisa jadi awalnya Nusantara ini sebenarnya penganut monoteisme Tauhid. Mungkin juga monoteisme Sunda itu telah mencakup semua wilayah Nusantara. Pada masa itu agama Sunda hidup pada masa kerajaan tertua di Nusantara, yakni Kerajaan Salakanagara, dengan rajanya, Aki Tirem, yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya, Raja Dewawarman yang memerintah pada tahun 130-160 Masehi.

Pada perkembangannya, bisa jadi muncul penyimpangan dengan munculnya animisme dan dinamisme. Namun, bisa jadi pula kedua isme terakhir itu hanya merupakan tafsir paling rendah tentang Kekuatan yang Serba Maha, terutama ketika dipahami oleh masyarakat yang tidak banyak berinteraksi dengan Kesundaan Asli.

Berikutnya, datang ke Nusantara beberapa agama baru seperti Hindu dan Budha. Keduanya menyebar di sebagian wilayah Nusantara. Akan tetapi, baik Hindu maupun Budha tidak menyebar ke negeri Sunda Kecil, yakni Sunda yang ada di Jawa Barat itu. Masyarakat Sunda di Jawa bagian Barat tidak terpengaruh oleh ajaran Hindu dan Budha.

Mungkin sebenarnya kedua agama itu pernah masuk ke tanah Pasundan. Tetapi masyarakat tidak menerimanya mungkin karena perbedaan konsep teologis. Konsep trimurti Hindu mungkin tidak cocok bagi masyarakat Sunda, karena keyakinan Sunda bersifat monoteistik yang tercermin dalam keyakinan SangHyang Tunggal.

Lain halnya ketika Islam masuk ke tanah Parahyangan. Karena secara fundamental keyakinan Islam itu tauhid, maka masyarakat menemukan kesamaannya. Karenanya dengan mudah masyarakat Sunda menerima bahkan memeluk Islam.

Sri Baduga Siliwangi, Raja Pajajaran yang paling terkenal, diduga oleh para peneliti Kesundaan, sebagai penganut agama Sunda, atau yang dalam istilah sekarang secara sederhana disebut dengan Sunda Wiwitan. Namun, muncul juga hipotesis bahwa ia seorang Muslim.

Alasannya, ia menikah dengan perempuan Muslimah, Nyi Subang Larang, yang merupakan santriwati seorang Kyai, Syekh Quro. Sebagai seorang kyai yang alim pada masanya, tidak mungkin Syekh Quro membiarkan puterinya dinikahi oleh lelaki non-Muslim? Jadi ada hipotesis bahwa Siliwangi menjadi Muslim terlebih dahulu baru kemudian menikahi Subang Larang.

Atau, jika pun tidak demikian, mungkin saja Siliwangi tidak secara formal masuk Islam. Namun, karena Syekh Quro tahu keyakinan Prabu Jayadewata itu yang sama-sama ahli tauhid, maka ia mengizinkan puterinya menikah dengan sesama ahli tauhid. Berbeda halnya jika Siliwangi itu seorang politeis (musyrik), pernikahan bisa saja tidak terjadi.

Mengapa kemudian anak-anak Siliwangi (Kian Santang dan Rara Santang) menjadi Muslim, bahkan cucunya menjadi salah satu Walisanga (Sunan Gunung Djati)? Mungkin saja karena Siliwangi tahu bahwa secara teologis keyakinan (tauhid) Islam tidak bertentangan dengan dirinya, baik dia sebagai Muslim maupun Sunda Wiwitan.

Benang merahnya adalah bahwa ajaran teologis Sunda Wiwitan itu sama-sama dengan Islam yang mengesakan Tuhan. Perbedaanya terjadi pada penyebutan nama dan panggilan kepada-Nya. Sama halnya dengan para nabi atau rasul dulu yang menyebut Tuhan mereka dengan diksi yang berbeda pula.

Mengingat kesamaan monoteistik SW dengan Islam dan ajaran para nabi terdahulu, sekali lagi sangat mungkin bahwa pembawa ajaran Sunda Wiwitan dulu itu adalah seorang nabi atau rasul yang diutus di tanah ini. Mungkin nabi itu termasuk nabi yang wajib diketahui, mungkin juga tidak.

Risalah semua nabi dan rasul adalah mengajarkan tauhid, keesaan Tuhan. Jatisari semua nabi adalah keesaan atau ketunggalan Tuhan. Jati inilah yang diwariskan dari satu nabi ke nabi lainnya yang semasa maupun berbeda generasi.

Nabi Saw mewarisi jati kenabian semua nabi dari Adam hingga sebelum beliau. Baik nabi-nabi di negeri Arab, nabi-bagi di benua lain, maupun nabi-nabi di Nusantara ini. Dengan asumsi bahwa jati Sunda yang tauhidi ini diajarkan oleh nabi terdahulu di tanah ini, sebelum Nabi Saw lahir, maka jatisari ini pun diwarisi pula oleh Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad.

Dalam konteks itulah kiranya mengapa Dedi Mulyadi menyebutkan bahwa jatisari Sunda dibawa oleh Kanjeng Rasulullah Saw di tanah Mekkah. Sebab, secara kronologis kelahiran Sunda mendahului kelahiran Islam. Jatisari Sunda dan semua jatisari para nabi dan rasul yang tauhidi (monoteistik) dibawa, diserap, disempurnakan dan disampaikan kembali oleh Nabi Muhammad kepada umat manusia.

Oleh lawan-lawan politiknya, pernyataan Dedi Mulyadi bahwa jatisari Sunda dibawa oleh Rasulullah ke Mekkah, telah dipelintir seolah-olah Dedi Mulyadi menyatakan bahwa Rasul mengajarkan Sunda di Mekkah. Padahal maksudnya adalah bahwa Nabi Saw membawakan dan meneruskan jatisari risalah semua para nabi (yakni tauhid), dan jatisari tauhid itu juga terdapat dalam keyakinan Sunda,

Dedi Mulyadi memang sering menguraikan nilai-nilai keislaman melalui pendekatan kebudayaan Sunda, serta menurut cara pandang dan nilai-nilai orang Sunda. Bagi masyarakat pada umumnya, cara ini efektif, mudah dimengerti, dan terasa nyata. Terutama di kalangan masyarakat kecil, cara Dedi dalam menerapkan kepemimpinan dan kebijakan, juga mengajak orang-orang untuk berubah kepada kebaikan cara pandang, itu mudah dipahami.

Namun, apa yang ia lakukan itu, oleh para lawannya malah dijadikan amunisi untuk memfitnahnya sebagai penganut Sunda Wiwitan. Padahal, ia seorang Muslim tulen; ia seorang haji, berumrah ke Tanah Suci Mekkah, salat, berpuasa Ramadhan, berzakat, berqurban, dan lain sebagainya. Ia juga seorang pengurus NU di Purwakarta.

Bahkan saat melakukan umrah sebelum Ramadhan yang lalu (2017), ia juga mengunjungi Gua Hira, menapaktilasi perjalanan Nabi Saw saat menerima wahyu pertama di sana. Di tempat di mana dulu Rasul menerima wahyu pertama pula Dedi Mulyadi melakukan salat dan berdoa. Jarang-jarang umat Islam yang berumrah menyempatkan diri menapaktilasi Gua Hira, namun Dedi Mulyadi melakukannya dengan sempurna.

Kembali kepada korelasi antara keyakinan Sunda Wiwitan dengan Islam. Karena kesamaan jatisari ini pulalah (yakni ketauhidan) yang menyebabkan Islam mudah diterima oleh urang Sunda. Jika saja masyarakat SW sekarang didekati dengan cara bilhikmah, lewat pendekatan fenomenologis, sebagaimana dulu para leluhur Muslim melakukannya, kiranya tidak sulit mereka menyatu dalam Islam.

Apalagi ajaran mereka tentang kosmologi, harmoni sosial, kendali diri, dan akhlaknya tidak berbeda dengan sufisme atau teosofi Islam. Jika saja ajaran kosmologis dan sosial mereka ini dibaca tanpa ada embel-embel SW, maka pembacanya akan menyimpulkan bahwa itu adalah Islam itu sendiri.

Dalam agama memang ada dimensi eksoteris, ada juga dimensi esoteris. Eksoteris berkaitan dengan sesuatu yang bersifat kulit, sesuatu yang eksternal. Sedangkan esoteris berkaitan dengan sesuatu yang bersifat isi dan substansi. Isi yang sama bisa mewujud dalam bentuk eksternal yang berbeda, sesuai dengan kultur, lingkungan atau faktor-faktor eksternal lain yang mempengaruhi.

Dan tauhid adalah satu dari dimensi esoteris itu. Inilah barangkali salah satu yang bisa mempertemukan antara teologi Sunda Wiwitan dengan Islam.

Baca Lainnya

Topik Populer

Berita Populer