Penulis: Ust. Hb. Syarief Jafar Shadiq bin Yahya, Sufi Musafir
Setelah para pesalik, para pecinta, berusaha keras mengenal kekasih yang dengan diri mereka mengental, sampai nafas tersengal tetap gagal untuk memvisual dengan bahasa verbal atau komunikal, sebab Sang Terkasih adalah Sang Maha tak terbatas bagaimana pula yang terbatas membatasi yang tak terbatas.
Bagai dua kekasih yang saling merindu akan diam terpaku dengan lidah kelu. Bahasa cinta sungguh membuat terbata-bata para pujangga dan para ahli logika.
Saat kata-kata hanya tinggal gema didada, saat butiran air mata berbicara melukiskan cinta, saat wajah pasrah membinarkan cahaya cinta, saat itulah bahasa gerak amal nyata adalah bahasa non verbal yang lebih fasih dari bahasa kata-kata yang terkadang berakhir dengan retorika hampa.
Jika dahulu kala di Nusantara, para pejuang memiliki kesadaran bersama bahwa anugrah merdeka datang dari cinta Sang Maha Cinta, maka saat ini mestinya kita tanamkan dalam diri kita dan generasi kita tentang dahsyatnya mencintai Sang Maha Cinta dengan mencintai apa yang Dia anugrahkan kepada kita, yakni cahaya cinta-Nya.
Berkah cahaya rahmat-Nya lah kesadaran untuk merdeka bangkit dalam dada para pejuang Nusantara.
Apapun suku bangsa dan agamanya, rakyat Nusantara disatukan oleh cinta-Nya, maka merdekalah ! Begitu pula Libanon berhasil mengusir zionis berkah kesatuan cinta kepada Sang Maha Cinta.
Bagi mereka yang disandera materialisme dan kapitalisme akan ternganga dan terbata logika serta menganggap gila menyaksikan manusia bergerak, beramal karena cinta-Nya. Memang belum benar-benar cinta jika belum gila.
Kita sering menjumpai orang yang diam-diam menderma, tanpa ada yang tahu serta memberitahu siapa dirinya kepada yang ia bantu, pula tanpa menunggu kata terima kasih. Si penderma menghilang bersama gelapnya malam dan gulitanya informasi tentang dirinya.
Diatas mahabbah ada 'isyq' dan si pecinta itu adalah yang telah asyik ( عاشيق) ma'syuk ( معشوق) hingga ia dianggap gila/majdub/maghrum.
Cahaya cinta dari Sang Maha Cinta terus dipancarkan dari manifestasi-Nya yang utama dan pertama, yakni yang kita kenal dengan al-Mushthofa Muhammad SAW, Sang Nabiyur rahmah (the prophet with full of love) dengan pancaran uswah hasanah yang akan menerpa dada-dada pecinta-Nya yang berlomba mencintai nabi dan keluaganya.
Uswah hasanah yang terpancar bukan hanya pajangan slogan-slogan tapi juga contoh langsung bagaimana Sang Nabi SAW bercinta dengan Sang Maha Cinta lewat bahasa non verbal berupa pengorbanan dan perjuangannya.
Selanjutnya kita saksikan bagaimana Ahlul Baitnya, sahabatnya seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasar, Salman al Farisi, Abu Dzar al Ghifari dan lain-lain memasrahkan diri ke medan juang, sebab bahasa cinta tak kuasa lewat kata-kata.
Dua sejoli yang dimabuk asmara di taman cinta, berlari bersama lalu pura-pura saling sembunyi, namun ada kalanya kekasihnya tahu bahwa dibalik pohon berduri atau semak berbunga, ada terbaca geraknya.
Untuk penyembah materialisme dan kapitalisme, ketahuilah mengapa ada orang yang gila mencintai sesama tanpa minta balas jasa, jawabnya karena orang yang dianggap gila itu sedang membaca ada gerak wajah-Nya menyapa dari balik kaum papa dan nestapa.
'أينما تولوا فتم وجه الله"
Kemanapun kalian berpaling maka sempurnalah wajah-Nya. Si gila yang mabuk cinta kepada Sang Maha Cinta tidak lagi memandang dengan mata fisik (نظر ) tapi sudah menggunakan teleskop matabathin metafisika(بصيرة)
Kerap kita jumpai tajalli ilahi melalui irama cinta-Nya yang terdengar indah melintasi sekat-sekat sektarianisme dan bebas dari puritanisme.
Ada biarawati yang mengajari mengeja al Qur'an di desa terpencil tanpa upah dan tanpa upaya untuk memindahlan keyakinan murid-muridnya, itu adalah bahasa cinta non verbal.
Ada gerakan saling bantu antara santri dan jemaat gereja saat membangun mesjid atau gereja, itu bahasa cinta non verbal.
Ada yang bersabar atas hinaan dan cacian saat ia sadar bahwa Dia hadir bersembunyi dibalik ujian, senyuman tulus si sabar itu adalah bahasa cinta non verbal karena menangkap persembunyian-Nya yang menggoda.
Ada yang bersabar atas penyakit bahkan tak keluar permohonan sembuh hanya berupaya saja, karena ia memandang bahwa sakit itu adalah sapaan mesra-Nya.
Ada yang mendermakan seluruh hartanya sehingga ia hanya cukup memberi tanggung jawab saja kepada amanah-Nya, itupun bahasa non verbal yang tidak perlu hanya kita cemburui dan kita tuduh ia riya.
Imam Ja'far Shadiq, SA menyampaikan nasehat bahwa "Untuk menuju kepada-Nya maka bisa ditempuh dengan jalan sejumlah tarikan nafas manusia"
Lalu kita bertanya kepada para pecintanya yang telah kita anggap gila, "Apa yang menyebabkan anda mencintai-Nya sedemikian rupa ?", maka si gila cinta itu akan menjawab, "Bagaimana aku tak mencintai-Nya sedangkan cinta-Nya mendahului cintaku kepada-Nya. Dia yang tak butuh apa-apa melayaniku seakan aku kekasih yang Dia butuhkan ?".