Limawaktu.id, Kota Bandung - Kondisi sampah di Bandung Raya makin hari makin kompleks. Pasalnya, kebaradaan TPA Sarimukti ang menjadi tempat pembuangan sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan sebagian Kabupaten Sumedang kapasitasnya makin lama makin berkurang.
Menurut Manajer Divisi Pendidikan dan Kaderisasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat, M Jefry Rohman, persoalan sampah di Bandung Raya menjadi sangat kompleks pasca terbakarnya TPA Sarimukti pada 2023 lalu. Dengan kejadian terbakarnya TPA sarimukti tersebut terjadi darurat sampah di Bandung Raya.
“Saat itu dimasa kepemimpinan Gubenur Jabar Ridwan Kamil, dilakukan rapat darurat sampah antara pihak provinsi, kabupaten/kota di Bandung Raya dan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup. Dari pembahasan tersebut menghasilkan kesepakatan bersama yang ditindaklanjuti dengan keluarnya Instruksi Gubernur (Ingub) tentang larangan pembuangan sampah organik ke TPA Sarimukti,” terangnya, Minggu, 4 Mei 2025.
Dia menjelaskan, larangan pembuangan sampah organik ke TPA Sarimukti tersebut dilakukan, karena sampah organik sangat rawan terbakar akibat mengandung gas metan.
“Dalam Ingub tersebut, ada keharusan bagi Pemda di Bandung Raya untuk tidak membuang sampah organik, namun dilapangan larangan tersebut tak dilaksanakan,” jelasnya.
Dia menyebutkan, WALHI Jabar pada pertengahan 2024 atau Bulan Junimelakukan pemantauan ke TPA Sarimukti. Dari catatan WALHI terdapat 300 sampai 320 rit sampah yang dibuang ke TPA Sarimukti dari Kabupaten/Kota di Bandung Raya yaitu Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan sebagian Kabupaten Sumedang (Jatinangor).
“JIka dikonvesikan jumlah tersebut setara dengan 2500 ton sampah perhari, 70 persennya sampah organik. Dengan penyumbang terbanyak dari Kota Bandung sekitar 170 rit atau 1500 ton. Kami berpendapat Ingub yang dikeluarkan Pemprov Jabar tersebut tak berjalan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat, ” sebutnya.
Tak hanya itu kata Jefry, Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun terlihat tidak tegas atas pelaksanaan larangan membuang sampah organik tersebut. Padahal, Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan melakukan pengawasan atas tata kelola sampah.
“Selain terjadi dua penyebab diatas, Pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya juga kami nilai tak berhasil mengendalikan pembuangan sampah. Bahkan persoalan sampah juga tidak menjadi prioritas dari Pemkot/Pemkab di Bandung Raya baik dari sisi program maupun penganggaran di Pemdanya masing-masing,” katanya.
Dia melanjutkan, WALHI mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar larangan tersebut dibuat dalam legalitas yang lebih tinggi dari Ingub yaitu berupa Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Daerah (Perda) Tentang larangan pembuangan sampah organik, sehingga aturannya lebih spesifik.
Data hasil riset Dinas Lingkungan Hidup Jabar pada 2022 menunjukan, dalam sehari sebanyak 2327 ton sampah organik yang dibuang ke TPA Sarimukti. Kota Bandung menjadi penyumbang tertinggi sampah organik yang dibuang ke TPA sarimukti. Dari sampah yang dibuang tersebut sekitar 870 ton berasal dari kawasan kommersil seperti pasar, mal dan retsoran sementara sampah organic yang dibuang masyarakat hanya 515 ton perhari.
Berkaca dari kondisi tersebut, Walhi menilai masalah sampah bukanlah hal prioritas yang mesti segera diselesaikan. Bahkan, adanya Instruksi Gubernur inipun terkesan hanya sebatas gugur kewajiban pemerintah provinsi akan tanggungjawab dan kewenangannya.
“Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menunjukkan keseriusan dalam implementasi Instruksi Gubernur tersebut. Mereka cenderung membiarkan sampah organik mengalir terus ke TPA Sarimukti tanpa penindakan dan pengawasan apapun,” paparnya.
Mengacu pada undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota adalah Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional. Serta UU 18 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang didalamnya menjelaskan terkait fasilitasi kerjasama antar daerah, menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/kota. Dan fasilitasi penyelesaian perselisihan antar kabupaten/antar kota dalam provinsi. Lebih jauh lagi kewenangan provinsi dalam undang-undang pengelolaan sampah adalah Pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional serta Penanganan sampah di TPA/TPST regional.
“ Artinya pemerintah provinsi berkewajiban untuk mengawal dan mengevaluasi secara seksama. Bahkan, kalau memungkinkan reward maupun punishment perlu diterapkan agar pelanggaran atau ketidak-patuhan para penanggungjawab pengelolaan sampah atas kebijakan atau kesepakatan yang telah disepakati bersama di tingkat Kabupaten Kota tidak terjadi di kemudian hari,” pungkasnya.