Limawaktu.id, Kota Cimahi – Lembaga Swadaya Masyarakat Koordinat Masyarakat Pejuang Aspirasi (LSM) Kompas mempertanyakan rencana Pemerintah Kota Cimahi terkait dengan rencana pembangunan Teras Sriwijaya yang akan dibangun diatas sungai Jalan Sriwijaya Kota Cimahi. Pasalnya selain diduga akan melanggar hukum juga berpotensi menimbulkan banjir dan beban sosial.
“Kami akan meminta informasi publik kepada Pemkot Cimahi terkait dokumen atas wacana atau perencanaan proyek Teras Sriwijaya, dengan melayangkan surat terbuka kepada institusi dan OPD terkait di Kota Cimahi maupun provinsi ,” terang Ketua Umum LSM Kompas Fajar Budhi Wibowo, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 21 April 2025.
Tak hanya itu, kata dia, LSM Kompas akan menggelar diskusi publik terbuka bersama elemen masyarakat sipil, akademisi, dan perwakilan komunitas PKL serta stakeholders.
“Kami tidak anti pembangunan, kami justru mendukung dan menyambut baik langkah, upaya juga rencana yang berkaitan dengan pemajuan Kota Cimahi. Tapi, mendukung pemerintahan bukan berarti diam saat ada potensi penyimpangan. Karena kami meyakini bahwa pembangunan harus tunduk pada hukum, berpihak pada lingkungan, dan menjamin keadilan sosial. Kami pun yakin pemerintah Cimahi tidak anti kritik,” kata dia.
Dia menjelaskan, bangunan di atas sungai, meskipun atas nama penataan kota, tidak boleh melanggar hukum yang lebih tinggi. Ada aturan yang tegas menyebutkan larangan pendirian struktur non-prasarana air di badan sungai.
JIka hal itu tetap dilaksanakan maka diduga Berpotensi Langgar Beberapa Aturan Nasional. Berdasarkan kajian tersebut, pembangunan Teras Sriwijaya berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang melarang pembangunan bangunan umum di badan sungai.
Aturan lain yang diduga dilanggar adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang mengatur bahwa hanya prasarana teknis tertentu yang diperbolehkan berdiri di atas sungai.
“ Jika itu tetap dibangun maka diduga akan melanggar Permen PUPR No. 28 Tahun 2015 tentang Garis Sempadan Sungai, yang mewajibkan jarak minimal 10 meter dari tepian sungai dalam kawasan perkotaan. Serta UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, jika lokasi pembangunan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cimahi,” jelasnya.
Dia menegaskan, selain aspek hukum, LSM KOMPAS juga menyoroti belum adanya keterlibatan lembaga teknis seperti institusi dan dinas terkait, yang memiliki kewenangan pengelolaan sungai, serta belum adanya kajian dampak lingkungan seperti AMDAL dan sejenisnya yang seharusnya menjadi syarat awal kegiatan. Terlebih wilayah tersebut beririsan dengan wilayah milik TNI AD.
Bangunan yang menutup aliran sungai atau mempersempit badan air dapat meningkatkan risiko banjir, terutama dalam konteks Cimahi yang secara topografis berada di wilayah dengan curah hujan tinggi. Selain itu, rencana relokasi PKL tanpa forum konsultasi publik juga dikhawatirkan akan menimbulkan resistensi sosial.
“Penataan PKL harus mengedepankan dialog dan keadilan spasial. Jangan sampai penataan hanya demi estetika, tapi merugikan kelompok rentan,” tegas Fajar.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Cimahi berencana akan melakukan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan membangun Teras Srwijaya untuk menampung pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di bahu jalan.
Wali Kota Cimahi, Ngatiyana, menyampaikan bahwa penataan kawasan pasar ini menjadi prioritas utama pemerintah. Tujuannya biar arus lalu lintas lancar dan pejalan kaki bisa nyaman.
“Pemkot akan membangun Teras Sriwijaya, sebuah area jualan berbahan kaca di atas aliran sungai. Nantinya, lokasi ini bisa digunakan oleh para PKL sehingga tidak lagi mengganggu lalu lintas,” ucap Ngatiyana, belum lama ini.