Limawaktu.id - Maraknya alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) menggerus ratusan seke atau mata air. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, awalnya ada 196 mata ir di KBU, tapi yang hanya tersisa 47 seke.
Salah seorang penjaga seke, Abah Atang (64), mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Seke Areng yang ia jaga di kawasan perbatasan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat pun terancam keberadaannya oleh industri properti.
"Air ini biasa dikonsumsi oleh warga di RW 09 Kp Nyalindung, Ciumbuleuit, sekarang keberadaannya pun mulai terancam oleh pembangunan dari kota," ujar Abah Atang saat ditemui di Pagerwangi, Bandung Barat, Kamis (25/4/2019).
Lelaki yang telah merawat seke tersebut sejak 1993 itu mengaku debit air yang muncul dari dalam seke pun kian berkurang. Sebab, pepohonan yang menyerap air mulai ditebang oleh sejumlah pihak.
"Kalau sekarang musim hujan, mata air yang dikelola abah mulai berkurang debitnya, tidak sama seperti 20 tahunan yang lalu. Kalau dulu enggak hujan selama enam bulan pun, airnya masih banyak," jelasnya.
Masyarakat, ujar Abah Atang, pernah menggugat pengembang agar tak mengganggu kelestarian seke. Pasalnya, seke itu diandalkan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Ia pun telah meminta bantuan dari pemerintah setempat, namun tak ada respon yang positif.
"Akhirnya sama abah ditanami saja pepohononan, dirawat secara swadaya oleh masyarakat juga. Dulu ada CSR dari PDAM untuk jaga seke," ujarnya.
Direktur Walhi Jabar, Dadan Ramdan, mengatakan kebanyakan mata air di KBU diprivatisasi untuk kepentingan pengembang. "Seperti di Cimenyan, Mekarsaluyu, kemudian di Ledeng Kota Bandung hilang untuk properti," katanya.
Dari 40 ribu hektare lahan resapan air yang tersebar di empat kabupaten dan kota. 70 persen atau 28 ribu hektar diantaranya telah beralih fungsi menjadi lahan komersil.
"Sudah beralih fungsi dengan pembetonan baik dalam bentuk villa, perumahan, apartemen, hotel dan tempat wisata," kata Dadan.