Limawaktu.id - Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar (Demiz) mengaku sempat melapor kepada Presiden Joko Widodo terkait masalah proyek Meikarta.
Hal itu diungkapkan Demiz dalam sidang lanjutan kasus suap proyek Meikarta dengan terdawka Bupati Bekasi non aktif, Neneng Hasanah Yasin cs di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (20/3/2019).
Demiz menyebutkan saat itu ada kunjungan kerja di Muara Gembing, dan dirinya memberitahukan jika ada beberapa menteri dan parlemen sudah mulai bicara soal Meikarta.
"Saya jelaskan ke beliau (Jokowi) permasalahnnya. Beliau bilang sudah ikuti aturan dan prosedur yang berlaku. Sudah banyak (menterinya) tinggal buka aja yah," ujarnya.
Usai persidangan, Demiz mengaku semua yang diungkapkan merupakan fakta sebenarnya sesuai data-data hasil rapat di BKPRD. Meikarta sempat dihentikan, lantaran bertentangan dengan pembangunan kawasan Metropolitan dan Perda nomor 12 Tahun 2012 tentang Kawasan Statrategis di Jabar.
"Jadi yah kita ungkapkan apa adanya aja kita tahu dan kita lakukan gitu. Dikatakan negara dalam negara, maksudnya kenapa kok membangun metropolitan kan ada perdanya tentang metropolitan tapi kok enggak ada rekomendasi, negara di dalam negara kan?. Yah kulo nuwun ada perdanya seperti itu yang bisa dikonfirmasikan kan enggak ada masalah apa-apa," katanya.
Demiz pun mengaku jika yang diajukan hanya yang 84,6 hektare itu tidak ada masalah, namun kawasan tersebut berada di lahan 500 hektare dan perencanaannya tidak pernah diubah. Jika mereka mau melanjutkan pembangunan tinggal diubah dan diajukan kembali.
"Jadi yang perlu rekomendasi itu metropolitan, bukan masalah luas huniannya berapa banyak, satu juta, kalau ini dua juta," ujarnya.
Sementara di persidangan, JPU dan majelis lebih banyak mempertanyakan soal proses rekomendasi perizinan Meikarta hingga ada pertemuan di Kemendagri dan rapat di Komisi 2 DPR RI.
Seperti yang diungkapkan mantan Ditjen Otda Soni Soemarsono. Menurutnya, adanya pertemuan di Kemendagri lantaran adanya pemberitaan di media yang memperlihatkan antara Pemda Bekasi dan Pemrov Jabar tidak harmonis, terlebih setelah proses perizinan Meikarta dihentikan terlebih dulu.
"Saat itu pembangunan Meikarta dihentikan oleh Pemprov. Sesuai arahan Mendagri saya disuruh memfasilitasinya dan diadakan pertemuan, apa yang sebenarnya terjadi dan agar segera diselesaikan," katanya di persidangan.
Jadi lanjutnya, pertemuan dilakukan hanya untuk mengklarifikasi terkait penghentian proyek Meikarta. Sementara soal perbincangan antara Neneng (Bupati) dan Mendagri Tajhjo Kumulo, Soni mengaku tidak tahu soal apa.
"Ini sudah jadi polemik panjang di media, tidak etis ada polemik antar kepala daerah. Makanya diadakan pertemuan atas perintah Mendagri," terangnya.
Hal yang sama diungkapkan mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Menurutnya, penghentian pembangunan proyek Meikarta sudah sesuai dengan Perda, lantaran itu masuk kawasan Metropolitan.
"Soal perbincangan dengan Neneng (Bupati) di Moskow itu tidak direncanakan. Saat lagi sarapan Neneng datang dan menanyakan apakah ini (Meikarta) perlu rekomendasi atau tidak. Saya jawab yang penting sekarang kita laksanakan tugas masing-masing sambil menunggu keputusannya yang masih dikaji oleh berbagai pihak di Pemprov," ujarnya.
Setelah kajian selesai, Aher pun mengaku tidak menandatangani rekomendasi dengan catatan (RDC) tersebut, lantaran semua itu sudah di delegasikan ke dinas terkait dan itu merupakan kewenangan meraka.
Majelis pun kemudian menanyakan kepada ketiga saksi apakah mereka menerima uang dari Meikarta? Ketiganya pun kompak mengaku tidak menerima sepeserpun.
JPU KPK I Wayan Ryana kemudian menanyakan kepada Demiz soal aliaran dana yang diterima bawahannya, yakni Sekda Jabar Iwa Karniwa sebesar Rp 1 miliar dan Yani Firman sebsar 90 ribu SGD.
Demiz mengaku baru mengetahui mereka menerima aliran dana dari Meikarta setelah dirinya diperiksa di KPK sebagai saksi.
"Tidak ada komunikasi. Saya tahu dia terima uang saat diperiksa di KPK. Saya pun terkejut tahu itu di berita," kata Demiz yang menyebutkan jika Iwa tidak pernah menghadiri rapat BKPRD.