Limawaktu.id,- Guru besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana tidak membantah, informasi tentang putusan MK yang dia sampaikan melalui akun media sosialnya sebagai bagian upaya mengontrol putusan Mahkamah Konstitusi sebelum dibacakan.
“Putusan MK itu bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum apapun dan langsung mengikat begitu dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, “ kata Denny di akun instagramnya, Minggu (4/6/2023).
Menurutnya, segala putusan yang telah dibacakan MK harus dihormati dan dilaksanakan dan tidak ada pilihan lain ataupun ruang koreksi.
Denny pun mengingatkan bagaimana putusan terbaru MK yang mengabulkan perpanjangan masa jabatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuat riuh publik.
"Masih segar dalam ingatan kita,bagaimana putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK, makin melumpuhkan kredibilitas KPK, karena memperpanjang pimpinan yang problematik secara etika. Putusan itu juga menguatkan ada agenda strategi Pilpres 2024 yang dititipkan kepada perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri cs," ujarnya.
Dia menjelaskan, sejumlah hal dalam rilis yang dia beri judul 'Memperjuangkan demokrasi Rakyat Pemilih, Melawan Kriminalisasi'. Terlepas, hak setiap orang untuk melaporkan ke polisi, Denny berpendapat hak demikian mesti digunakan secara tepat dan bijak.
“Persoalan wacana semestinya dibantah dengan narasi pula, bukan memasukkan tangan paksa negara, apalagi proses hukum pidana. Terlebih, pembicaraan terkait topik politik di waktu menjelang kontestasi.(Sebab) Pemilu 2024 sangat rentan dengan kriminalisasi kepada lawan politik, yaitu ketika instrumen hukum disalahgunakan untuk membungkam sikap kritis dan oposisi," jelasnya.
Karena itu, dia menilai penting dan strategis putusan terkait sistem Pemilu legisltif bagi kepentingan rakyat secara luas. Sistem Pemilu bukan hanya terkait partai dan bacaleg, namun juga yang paling penting, mempengaruhi kadar suara rakyat pemilih yang tidak lagi punya bobot menentukan jika MK memutuskan sistem proporsional dengan nomor urut (tertutup) menggantikan sistem nama dan suara terbanyak (terbuka).
“Tidak ada ruang koreksi setelah putusan MK dibacakan. Perlunya pengawalan publik dan hanya mungkin dilakukan sebelum dibacakan,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, dengan mengungkap informasi kredibel bahwa MK berpotensi memutus sistem proporsional tertutup, maka akan mengundang khalayak luas untuk mencermati dan mengkritisi putusan yang akan dikeluarkan tersebut.
"Jangan sampai putusan telanjur ke luar dan membuat demokrasi kita kembali mundur ke sistem pemilu proporsional tertutup ala Orde Baru yang otoritarian dan koruptif," lanjut dia.
Denny menilai saat ini belum cukup menyerahkan putusan pengadilan hanya pada proses ruang sidang semata. Apalagi dengan sistem peradilan Indonesia yang masih belum ideal karena masih rentannya intervensi kuasa serta masih maraknya praktik mafia peradilan. Sebab, argumentasi dan logika hukum semata, tidak jarang dikalahkan oleh kekuatan logistik kekuasaan dan praktik mafia peradilan.
"Menyerahkan putusan pengadilan hanya pada proses di ruang sidang saja, tidaklah cukup. Untuk memperjuangkan keadilan, harus ada kontrol melalui kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign)," pungkasnya.