Limawaktu.id, Kota Cimahi – Tak lama lagi, Kota Cimahi akan memasuki usia 23 tahun, sejak dilahirkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 20201. Berdirinya Kota Cimahi yang digagas dan diperjuangkan oleh masyarakat Cimahi karena adanya peluang peningkatan status dari Kota Administratif (Kotip) menjadi sebuah kota otonom seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah.
Tokoh masyarakat Kota Cimahi yang juga Praktisi Hukum Teodorik Gultom mengungkapkan, berdirinya Kota Cimahi mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, juga tidak terlepas dari terbitnya UU No.9 tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Cimahi dan buah dari reformasi.
Saat itu dibeberapa daerah di Indonesia menginginkan adanya Kota, Kabupaten dan Provinsi untuk melepaskan diri dari daerah sebelumnya agar bisa berdiri sendiri sehingga mampu mengelola tata pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah dari daerah sebelumnya,
“Begitupun Kota Cimahi, segera setelah UU Otonomi daerah diberlakukan, beberapa tokoh masyarakat yang tergabung dalam Sekretaris Bersama [SekBer] Cimahi Otonom meresponsnya dengan mengajukan kepada Pemerintah Pusat agar Kota Cimahi diitngkatkan statusnya dari Kota ADministratif menjadi Kota Otonom yang terpisah dari Pemerintah Kabupaten Bandung,” ungkapnya, Kamis (30/5/2024).
Dia menjelaskan, sejak berlakunya UU No 9 tahun 2001, Kota Cimahi sudah mengalami 4 kali pilkada serta menghasilkan 3 orang Walikota. Bahkan Kota Cimahi sudah banyak mengalami perubahan dan kemajuan.
“Apabila ada yang berangapan jika Kota Cimahi Cimahi lahir secara kebetulan dan jadi korban sebuah regulasi telah jelas bahwa yang bersangkutan tidak menghormati Lembaga DPR RI [legislatif} dan Presiden/Pemerintah pusat {eksekutif} sebagai lembaga-lembaga pembentuk UU yang menghasilkan UU Otonomi Daerah dan UU No 9 tahun 2001,” jelasnya.
Sebab, kata dia, konsekwensi hukum dari pernyataan jika Kota Cimahi berdiri secara kebetulan dan akibat korban regulasi tersebut, berarti dia menganggap produk hukum yang dihasilkan dari lembaga-lembaga Negara tersebut dianggap illegal, apabila menyatakan Kota Cimahi lahir secara kebetulan.
“Pembentukan sebuah Kota, Kabupaten dan Provinsi berdasarkan UU OTDA harus berdasarkan usulan masyarakat, kajian komprehensif,sampai diputuskan apakah sebuah daerah dianggap layak jadi otonom.Jadi jelaslah Kota Cimahi berdiri berdasarkan sebuah kajian yang mendalam seperti yang diatur dalam UU bukan secara kebetulan,” katanya.
Dia melanjutkan, Didalam prinsip dan kaidah hukum, sebuah perundang¬-undangan atau regulasi dianggap baik dan apabila ada sebuah regulasi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka setiap orang berhak untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Jika ada yang menganggap Kota Cimahi korban regulasi sangat berbahaya, artinya UU OTDA adalah UU yang tidak benar yang berakibat Kota Cimahi menjadi korban dari regulasi tersebut.Padahal dengan UU tersebut menjadikan berdirinya Kota Cimahi selama kurang lebih 23 tahun dengan segala dinamika dan kemajuannya.
“Jika ada yang beranggapan Kota Cimahi merupakan korba regulasi, yang bersangkutan patut diduga mengingkari keberadaan Kota Cimahi dengan segala prosesnya, karena mengganggap Kota Cimahi berdiri secara ujug-ujug atau kebetulan. Proses perjuangan dalam pembentukannya seolah-olah dianggap tidak bernilai,” paparnya.
Menurut Gultom, berdirinya Kota Cimahi dengan segala persyaratannya yang diatur oleh UU telah menghadirkan pemerintah Kota Cimahi beserta Walikota, lembaga DPRD Kota Cimahi dan APBD.Apabila dikaitkan dengan pernyataan yang menyatakan Kota Cimahi berdiri secara kebetulan dan korban regulasi, konsekwensi logisnya adalah yang bersangkutan tidak mengakui keberadaan pemerintah kota dan DPRD termasuk eksistensi Partai Politik yang duduk di DPRD.
“Begitupun jika ada yang menganggap jika Kota Cimahi tidak jelas batas-batasnya, jelas hal ini mengecilkan kemampuan pembuat UU {Legislatif dan Eksekutif].Bagaimana mungkin ada sebuah daerah tidak jelas batas-batas wilayahnya?Bagaimana sebuah pemerintahan Kota melakasanakan kebijakan dan program kerja seperti yang diperintahkan UU sedangkan batas-batas wilyahnya tidak jelas ?,” bebernya.
Dia meminta siapapun yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Walikota haruslah melakukan logical fallacy, mana mungkin dia hendak mencalonkan diri menjadi seorang Walikota Cimahi sedangkan Kota Cimahi yang hendak dia pimpin dianggap berdiri secara kebetulan.
Jika ini dibiarkan, hal tersebut akan berdampak terhadap pengaburan pada sejarah Kota Cimahi yg mengakibatkan mendegrasi rasa kebanggaan di masyarakat.Dengan pernyataan bahwa Kota Cimahi berdiri secara kebetulan mungkin secara psikis selain menurunkan rasa memiliki terhadap kotanya malah sangat mungkin akan menumbuhkan apatisme di masyarakat.
Melihat dinamika politik yg serba cepat yg akan terdampak pada masyarakat menjelang Pemilihan Walikota Cimahi 2024-2029, dirinya selaku warga Cimahi yang berprofesi sebagai praktisi hukum menyimpulkan bahwa untuk Walikota Cimahi mendatang alangkah baiknya adalah sosok yang memahami sejarah Kota Cimahi serta punya jejak prestasi yang mumpuni dalam mengelola tata pemerintahan yang baik.
Apa jadinya sebuah kota akan dipimpin oleh seseorang yang tidak memahami sejarah Kota yg hendak dia pimpin sedangkan dia sendiri tidak memahami Kotanya.
“Saya berharap para tokoh-tokoh, akademisi,politikus partai dan anggota DPRD Cimahi segera merespons cepat pernyataan calon Walikota yang diindikasikan telah melakukan pengaburan sejarah Kota Cimahi agar tdk menjadikan keresahan di masyarakat dan menjadikan polemik berkepanjangan,” harapnya.
Tak hanya itu, terhadap partai-partai politik yang hendak menggusung Calon Walikota Cimahi mendatang agar bisa secara sungguh-sungguh melakukan fit and propert, kajian, tracing rekam jejak agar bisa menilai sosok calon berdasarkan pendekatan ilmiah bukan sekedar hanya mencalonkan.
“Sosok Walikota Cimahi mendatang harus didasari pengetahuan yang dalam tentang Kota Cimahi dengan disertai kompetensi yang matang yang didasari rekam jejak yang jelas agar Kota Cimahi tidak salah urus akibat Walikota yang memimpinya tidak memiliki kemampuan managerial yang baik,” pungkasnya. .