Limawaktu.id, Kota Cimahi - 79 tahun Indonesia Merdeka, bagi sebagian besar kaum tani di negeri ini, sepertinya belum memiliki arti yang menggembirakan. Kaum tani, khususnya Petani berlahan sempit, terekam masih hidup memprihatinkan. Mereka tetap terjebak dalam lautan kemiskinan. Sengsara dan melarat, masih menyelimuti kehidupannya. Petani bangkit mengubah nasib, lebih mengemuka sebagai cita-cita.
“ Lebih memilukan, dalam 10 tahun terakhir (2013-2023), jumlah petani gurem membengkak dengan angka cukup signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem tercatat sebanyak 16,89 juta. Dengan kata lain, mengalami kenaikan sebesar 18,49% dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang jumlahnya hanya sebanyak 14,25 juta,” sebut Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat Entang Sastraatmaja, Sabtu (17/8/2024).
Menurutnya, Sebuah gambaran kehidupan anak bangsa, yang belum mampu merasakan bagaimana nikmatnya alam kemerdekaan, sebagaimana halnya 9 Naga penguasa ekonomi bangsa. Bagi kaum tani yang demikian, hidup di negeri ini, dari hari ke harinya hanyalah sekedar menyambung nyawa, tanpa ada asa yang menanti di masa depan.
Selaku warga bangsa yang dikenal juga sebagai sokoguru revolusi, tidak seharusnya kaum tani hidup penuh dengan keprihatinan. 79 tahun Indonesia Merdeka, Pemerintah, mestinya mampu menghantarkan langkah kaum tani ke dalam suasana kehidupan yang penuh dengan keberkahan sekaligus memberi kemakmuran dan kesejahteraan.
“Berprofesi atau bermata-pencaharian sebagai petani, khususnya petani padi berlahan sempit, bukanlah pilihan hidup yang ingin ditempuhnya. Mereka tampak terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal. Mereka hidup hanya sekedar menyambung nyawa agar tetap dapat bercokol di atas tanah kelahirannya,” katanya.
Dia menjelaskan, sangat wajar, jika sekarang ini banyak pihak yang meminta garansi kepada Pemerintah, agar siapa pun yang berprofesi sebagai petani padi, perlu dijamin, kehidupannya tidak akan sengsara. Pemerintah perlu memberi keyakinan kepada kaum muda perdesaan yang akan bekerja di pertanian padi, mereka tidak lagi masuk jebakan hidup miskin.
“Penderitaan petani di Tanah Merdeka, dalam beberapa waktu belakangan ini, tampil menjadi topik menarik untuk dibahas dengan penuh kecermatan. Isu pokoknya adalah mengapa petani harus menderita di tengah tumbuhnya pengakuan petani sebagai pahlawan pangan ? Sebagai pahlawan pangan, tentu sangat memilukan bila petani harus hidup menderita,” jelasnya.
Dia melanjutkan sangat ironi kondisi petani saat ini. Betapa tidak Petani di negeri ini, pernah mencatatkan Indonesia di pentas dunia sebagai negara yang mampu meraih predikat Swasembada Beras. Dua kali petani padi, mampu mengharumkan nama bangsa dan negara, melalui kerja keras yang dilakukannya. Pertama tahun 1984 di era Orde Baru dan kedua tahun 2022 di masa Reformasi.
Tanpa kehadiran petani, mana mungkin Indonesia bakal meraih Swasembada Beras. Tanpa kinerja petani yang sangat membanggakan, tidak mungkin saat itu Presiden Soeharto akan di daulat untuk berbagi pengalaman tentang kisah sukses menggapai Swasembada Beras dihadapan pemimpin dunia yang tergabung sebagai anggota FAO.
Betapa bangganya kita selaku bangsa, menyaksikan Presiden Soeharto yang ditemani tokoh tani negeri ini, bicara santai dalam Sidang Khusus FAO di Roma, Itali, guna menyampaikan kiat-kiat meraih Swasembada Beras. Bayangkan, semula Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengimpor beras tertinggi di dunia, tiba-tiba mampu berswasembada beras.
Begitu pun dengan kisah sukses Swasembada Beras 2022. Bangsa lain banyak yang kagum atas kegigihan para petani dalam menggenjot produksi padi. Hebat betul, di saat warga dunia disergap pandemi Covid 19, para petani padi kita, malah mampu menorehkan keberhasilan di panggung dunia dengan meningkatkan produksi padi menuju Swa Sembada Beras.
“Menakjuban dan keren sekali para petani di negeri ini. Keanehannya, mengapa banyak diantara mereka yang hidupnya menderita ? Ada apa sebetulnya dengan kondisi dunia perpadian, pergabahan dan perberasan di Tanah Merdeka ini ? Mengapa nasib dan kehidupan sebagian besar para petani padi, tidak mampu nengenyam kehidupan yang lebih baik ?,” pungkasnya.