Kamis, 16 Maret 2023 23:56

Transmigran Asal Jawa, Menuju Borneo, Terdampar di Jaringao

Penulis : Muhammad Ankawijaya
Dermaga Ujung Genteng Tahun 1921
Kapal Pengangkut Transmigran Asal Jawa [Istimewa]

Limawaktu.id, - Mungkin sebagian dari kita hanya tahu nama ‘jaringao’ sebagai sebuah tumbuhan yang mirip rumput. Sebagian lagi mungkin bahkan tidak tahu apa itu jaringao. Dalam tulisan ini, bukan tumbuhan Jaringao yang akan dibahas, akan tetapi soal sebuah daerah di kawasan selatan Sukabumi. Yaitu, beberapa daerah yang berdekatan dengan pantai wisata Ujung Genteng. Tepatnya, di Desa Ujung Genteng, Gunung Batu, Pangumbahan, Cikangkung dan Mekarsari, Kecamatan Ciracap Kab. Sukabumi.

Ada sejarah unik tentang kawasan ini yang layak untuk kita ketahui, terutama kisah penghuninya yang datang dari jawa pada masa kolonial dan akhirnya tinggal di Jaringao. Mereka adalah transmigran asal jawa yang dibawa oleh kolonial Hindia belanda. Berikut adalah penuturan dari Anggit Sagino Loromoso (41), salah satu tokoh pemuda setempat, sebagai generasi ke-4 dari leluhurnya yang ikut dalam rombongan transmigrasi tersebut. Sagino lahir di Sukabumi, 12 Juni 1981.

Sagino merupakan sarjana ekonomi yang menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Manajemen Produksi dan Pemasaran (FMP), Jurusan Manajemen Produksi Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN), Tahun 2006. Semasa kuliah, dia pernah memimpin organisasi gerakan kemahasiswaan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Komite Kota Bandung. Ketika lulus kuliah, Sagino sempat bekerja di beberapa NGO, pernah bekerja di perbankan sebelum akhirnya memutuskan untuk fokus bertani di tanah kelahirannya dan mendirikan Farmer and Social Working Bina Tani Mandiri. Sagino juga menjadi Ketua Perkumpulan Indonesia Muda Kabupaten Sukabumi (PIM KABSI) sebagai bagian dari PIM JABAR.

Menurut cerita yang disampaikan oleh Sagino (Minggu, 12/03/2023), tempat kelahirannya memiliki sejarah dan fakta menarik yang unik. Dengan mengakses perpustakaan Leiden Belanda, Sagino menemukan bahwa pada peta yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934, terdapat nama tempat “TjidJaringao” dan di dekatnya terdapat nama daerah "Tjigebang".

Menurut Sagino tempat kelahirannya merupakan bagian dari visi dan master plan pembangunan wilayah, sebagai zonasi pelabuhan terbesar setelah Batavia. Letak strategis tempat kelahiran Sagino yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan berjarak hanya sekitar 200 mil dari pulau Christmas Australia, mungkin menjadi faktor utama mengapa Hindia Belanda memilih tempat tersebut sebagai pelabuhan strategis.

“Leluhur saya menyebut daerah Jaringao ini dengan sebutan tanah “Boroneoh”. Sebab dalam pikiran, mereka ini merasa telah dibawa ke pulau Borneo, ke Kalimantan. Sebagai buruh dari perkebunan pengusaha Eropa. Nah, nama Jaringao sendiri konon muncul lantaran di daerah ini banyak ditemukan tumbuhan Dringo atau Jaringao.” Kata Sagino.

Menurut cerita turun temurun dari leluhurnya, Sagino mengungkapkan bahwa para leluhurnya yang datang dari jawa tengah dan jawa timur, telah dibohongi oleh pihak kolonial. Mereka awalnya dijanjikan akan ditempatkan di pulau Kalimantan yang kala itu masih disebut borneo. Mereka dijanjikan akan dipekerjakan di perkebunan yang dipegang oleh VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).

Ada dua tahap pengiriman transmigran. Pertama, pengiriman penduduk pribumi dari daerah Kediri Jawa Timur, di sekitar tahun 1887. Kedua, pengiriman penduduk pribumi dari Kebumen dan Purworejo Jawa Tengah sekitar tahun 1921. Sagino sendiri berasal dari leluhur gelombang tahap kedua.

Gelombang pertama yang berasal dari daerah Kediri Jawa Timur tidak sanggup bertahan hidup di daerah Jaringao. Kondisi alam yang masih lebat, sebagai hutan belantara membuat mereka sulit untuk dapat bertahan hidup. Walaupun berusaha untuk membuka lahan pertanian, pada akhirnya sebagian besar dari mereka tidak sanggup bertahan dan meninggal dunia.

Kemudian didatangkan gelombang kedua yang berasal dari daerah Kebumen dan Purworejo di tahun 1921. Mereka inilah yang sanggup bertahan hidup di Jaringao, termasuk leluhur Sagino yang juga berasal dari Kebumen. Mereka semua diberangkatkan dari Pelabuhan yang ada di Cilacap Jawa Tengah. Berdasarkan cerita yang ada, mereka diberangkatkan berbarengan dengan pemberangkatan ekspedisi lain menuju Deli Serdang dan bahkan Suriname.

“Anehnya, kapal laut yang membawa mereka berlayar dari pantai Cilacap menuju pantai Ujung Genteng membutuhkan waktu berlayar yang sangat lama, yaitu sekitar tiga bulanan. Masih di pesisir selatan pulau jawa, kok sampai segitu lama. Ini kan aneh.” Ucap Sagino heran.

Sebagai bukti adanya peristiwa transmigrasi ke Jaringao oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, di Kawasan Ujung Genteng dapat ditemukan sejumlah artefak peninggalan kolonial. Ada dermaga, mercusuar, bungker dan bangunan lainnya. Sedangkan jika kita melihat beberapa peta yang dibuat Hindia Belanda di tahun 1934, dapat ditemukan jalur lori/kereta pengangkut barang. Bukan hanya peninggalan dari pengusaha Belanda (eropa) saja yang menjadi bukti, makam dari sang pengusaha pun masih ada dan sering dikunjungi keluarganya dari eropa.

Sagino menyayangkan kurangnya perhatian dari pemerintah setempat terhadap bukti-bukti sejarah tersebut. Padahal artefak-artefak yang ada bisa jadi hilang ditelan zaman apabila tidak ada perhatian khusus terhadapnya. Menurut Sagino, hanya presiden RI pertama, Ir. Soekarno yang peduli dan pernah mendatangi Jaringao. Kedatangan Soekarno ini terjadi di tahun 1946. Kebetulan, uwa dari Sagino sendiri yang turut mengawal Soekarno. Namanya uwa Masna yang telah meninggal dunia di tahun 2016.

Interaksi dengan Penduduk Sunda

Transmigran Jawa asal kebumen dan Purworejo yang dikirim ke Jaringao jumlahnya bukan puluhan atau ratusan. Ada ribuan manusia yang dibawa oleh kolonial Hindia Belanda ke Jaringao, semacam bedol desa. Meskipun begitu, mereka pada awalnya tidak dapat berinteraksi dengan penduduk asli di Kawasan Jaringao, yaitu masyarakat sunda.

Ada sebuah sungai besar dengan nama Cikarang yang memisahkan mereka dengan masyarakat sunda. Sungai inilah yang menghambat interaksi dengan masyarakat sunda. Selain ukuran sungai yang cukup besar dan dalam, dimunculkan mitos-mitos yang membuat mereka enggan menyeberangi sungai Cikarang. Sungai Cikarang dimitoskan angker dihuni mahluk menakutkan, dimitoskan dihuni oleh buaya-buaya besar besar dan buas, serta mitos-mitos lainnya.

Dengan berjalannya waktu, pada akhirnya leluhur Sagino mampu menyeberangi sungai Cikarang. Mereka pun akhirnya dapat berinteraksi dengan penduduk asli dari suku Sunda. “Ternyata masyarakat asli itu tahu keberadaan para pendatang. Tapi karena memiliki hambatan yang sama, sehingga sulit untuk membuka interaksi”. Ucap Sagino.

Melalui interaksi dengan penduduk asli inilah yang membuka semua tabir kebohongan kolonial Hindia Belanda. Transmigran yang awal mulanya mengira sudah berada di Borneo akhirnya sadar telah ditipu oleh kolonial belanda dan masih berada di pulau Jawa. Bahasa Jawa dan Sunda yang memiliki kemiripan, menjadi jembatan komunikasi antara transmigran Jawa dengan penduduk asli Sunda.

Kini, para transmigran asal Jawa (Kebumen dan Purworejo) ini sudah berbaur dengan masyarakat asli. Sekarang komunal Jawa pun sudah tersebar di 5 desa, di desa Gunung Batu, Pangumbahan, Ujung Genteng, Cikangkung dan Mekarsari. Akulturasi budaya pun terjadi, dimana transmigran asal Jawa menerima budaya lokal dan penduduk asli pun menerima budaya dari pendatang.

“Dari tahun 80-an akulturasi budaya terjalin kuat disini. Akulturasi terjadi melalui pergaulan, perkawinan dan juga sekolah. Salah satu contohnya, ada sebuah kampung yang anak-anaknya sama sekali sudah tidak lagi bisa berbahasa Jawa.” Ungkap Sagino.

Menurut Sagino, meskipun ada akulturasi yang kuat, budaya asli leluhur pun hingga kini masih dipegang teguh oleh para keturunan transmigran asal Jawa. Semisal kesenian Kuda Lumping, masih diperagakan dalam acara-acara tertentu. Di sebagian besar komunal Jawa, bahasa Jawa pun masih dilestarikan dan menjadi bahasa sehari-hari. Sagino sendiri selain fasih berbahasa Sunda, juga sangat fasih berbahasa Jawa ngapak.

Anggit Sagino Loromoso (41)
Anggit Sagino Loromoso (41)

Harapan Kepada para Calon Pemimpin Bangsa

Hanya satu hal yang menjadi permasalahan besar bagi masyarakat Jaringao. Sagino mengungkapkan, penduduk Jaringao dan masyarakat Kabupaten Sukabumi secara umum hidup dan tinggal di pedesaan, dimana mayoritas adalah kaum tani yang tidak memiliki kecukupan luasan lahan untuk areal pertanian dan permukiman.

Di sisi lain, meskipun kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten terluas ke dua di pulau Jawa setelah kabupaten Banyuwangi di Jawa Timur, tetapi ada banyak lahan yang dikuasai oleh korporasi dalam bentuk konsensi HGU, HGB, dan hak penguasaan lahan lainnya. Sedangkan para petaninya banyak yang hanya bisa menjadi petani penggarap.

Sagino berharap para calon pemimpin bangsa, semisal Anies Baswedan, memiliki komitmen dan konsistensi untuk menjalankan agenda perubahan dasar rakyat, terutama nasib kaum petani di Indonesia, khususnya masyarakat Jaringao dan sekitarnya.

“Bagaimana pun juga, mimpi kami hari ini, sama dengan mimpi leluhur kami. Kami sama-sama ingin memperoleh kehidupan yang layak.” Ungkap Sagino.

Sagino memiliki mimpi perjuangan kaum tani di Kawasan sekitar Jaringao yang terhimpun dalam Forum Komunikasi Petani Pakidulan (FKPP) dapat memperoleh hak mereka, yaitu kepemilikan lahan  dan kehidupan yang layak. Para petani penggarap yang terhimpun dalam  FKPP tersebut tersebar di 4 desa, yakni; desa Ujunggenteng, Pangumbahan, Gunungbatu dan Cikangkung. Mereka adalah petani penggarap di lahan eks perkebunan Cigebang PT. Bumi Lestari Abadi (BLA) di desa Ujung Genteng dan desa Pangumbahan kecamatan Ciracap kabupaten Sukabumi-Jawa Barat.

Baca Lainnya