Limawaktu.id,- Nama Gatotkaca pasti sudah tidak asing lagi bagi anda. Untuk generasi kekinian, nama Gatotkaca dikenal sebagai tokoh pahlawan fiksi dalam game online 'Mobile Legend'. Bagi generasi yang lebih tua, mereka mengenal Gatotkaca lewat cerita pewayangan. Mereka mengenali Gatotkaca sebagai pahlawan dari keluarga Pandawa, yakni anak dari Bima. Tentu saja asal muasal cerita pewayangan datang dari negeri yang jauh, India.
Beberapa waktu lalu pun, Gatotkaca pernah viral di dunia maya sebagai nama mesin pencarian online yang diutarakan oleh menkominfo dalam sebuah podcast. Namun siapa sangka, di salah satu desa yang ada di kabupaten Sukabumi, ada sebuah desa yang diyakini (dimitoskan) berdiri karena singgahnya Gatotkaca. Nama desa yang dimaksud adalah desa Purabaya di kecamatan Purabaya.
Kehidupan masyarakat Indonesia tidak pernah lepas dari cerita-cerita mitos dan legenda. Hampir di setiap daerah Indonesia memiliki kisah mitos dan legenda. Cerita mitos dan legenda tiap daerah pun berbeda satu daerah dan lainnya. Ada cerita soal makam keramat, ada cerita soal tokoh heroik, ada cerita soal dewa-dewi dan ada pula cerita soal asal-usul sebuah daerah. Begitu juga dengan desa Purabaya yang memiliki ceritanya sendiri.
Berdasarkan penuturan Ruli Abdullatip, seorang tokoh pemuda lokal yang pernah turut menelusuri mitos dari asal-usul desa Purabaya, desa ini memiliki kisah atau cerita yang unik dan relatif berbeda dari wilayah lain. Cerita mengenai asal-usul desa tersebut telah ada sejak dulu dan diceritakan turun-temurun secara lisan.
Menurut cerita para leluhur Purabaya, asal-usul nama desa Purabaya diambil dari nama sebuah sungai yang ada di Purabaya. Sungai ini terbentang dari gunung (bukit) Bandung yang terletak di desa Bojong Tipar kecamatan Jampang Tengah hingga berakhir di desa Purabaya. Nama dari sungai ini adalah ‘Cipurabaya’.
Ruli menyampaikan, ada beberapa versi cerita asal-usul desa Purabaya. Namun, dari berbagai versi cerita, ada dua versi cerita kuat yang beredar. Pertama, ada hubungannya dengan tokoh pewayangan, Gatotkaca. Kedua, ada hubungannya dengan kerajaan Banten. Dari berbagai versi cerita yang ada, tidak ditemukan satupun bukti kongkrit yang menguatkan cerita.
“Sayangnya, dari semua versi cerita yang ada, tidak satupun memiliki bukti historis atau arkeologis yang mendukung. Semua hanya cerita turun-temurun.” Ucap Ruli.
Dalam versi cerita pertama, konon penamaan sungai Cipurabaya tidak lepas dari sosok tokoh pewayangan, Gatotkaca. Menurut penuturan sesepuh, Gatotkaca memiliki nama lain, yaitu Raden Purbaya. Diceritakan bahwa Gatotkaca ketika terbang pernah singgah di gunung (bukit) Bandung Bojong Tipar. Ketika menjejakkan kakinya, maka muncul mata air yang besar dari bekas pijakan kaki Gatotkaca. Lama-kelamaan mata air ini membentuk sebuah danau. Aliran air dari danau ini mengalir hingga berujung di desa Purabaya. Oleh sebab itulah aliran sungai ini dinamai Cipurabaya.
Menurut penuturan sesepuh, setiap kali Gatotkaca loncat terbang, akan selalu menjejakkan kakinya di tanah agar bisa loncat lagi. Nah, di setiap tanah yang dipijaknya, akan selalu muncul mata air. Menurut sesepuh, di setiap daerah atau bukit yang pernah dipijak oleh kaki Gatotkaca, ditempatkan seorang patih untuk menjaga wilayah tersebut. Untuk wilayah Pasir Makam diisi oleh Perbu (Prabu) Raden Jaya Makara, wilayah Pasir Bedil oleh Perbu Layung Kemenung dan Perbu Layang Kumandang, serta wilayah lainnya oleh patih-patih lainnya. Sedangkan untuk wilayah gunung Bandung Bojong Tipar, diisi oleh Perbu Sengkala Bandung.
Untuk versi yang kedua, sungai Cipurabaya diambil dari nama putra Sultan Ageng Tirtayasa dari kerajaan Banten. Nama putra Sultan Ageng Tirtayasa ini adalah Raden Purbaya dan memiliki gelar Raksabaya. Konon, dalam sebuah perjalanan yang dilakukannya, Raden Purbaya menyusuri sebuah sungai dan akhirnya menetap di ujung sungai dan tidak pernah kembali ke kerajaan Banten. Perjalanan inilah yang membuat sungai ini dinamai Cipurabaya.
“Pada akhirnya, Raden Purbaya menetap dan menjadi kuwu di Purabaya.” Ujar Ruli.
Ruli menyatakan, tidak ada kepastian apakah Raden Purbaya adalah kuwu pertama, ataukah kuwu yang diangkat kemudian setelah kuwu-kuwu sebelumnya. Sebab dalam cerita leluhur yang ada dan catatan yang dimiliki desa, kuwu pertama dan kedua dipegang oleh trah/marga Manggala, yakni Raden Nata Manggala dan Raden Mas Gandul Nata Manggala. Sedangkan Raden Purbaya adalah kuwu kelima. Hal lain yang juga menjadi pertanyaan, apakah Raden Purbaya sendiri merupakan bagian dari trah/marga Manggala atau bukan, tidak pasti juga.
“Kata sesepuh, untuk bisa menjadi kuwu di masa lalu, kita harus memiliki kesaktian sehingga dapat melindungi masyarakat di desa dan sekitarnya. Seorang kuwu harus menjadi seorang Raksabaya.” Ucap Ruli.
Ruli sekali lagi menegaskan, bahwa kedua cerita tersebut hanyalah cerita yang disampaikan turun-temurun secara lisan. Tidak ada bukti sejarah yang kongkrit yang dapat mendukung secara pasti kebenaran dari kedua versi cerita tersebut. Apalagi untuk cerita pertama yang berpusat pada tokoh pewayangan, Gatotkaca, hampir dipastikan hanyalah sebuah mitos. Dibutuhkan penelitian yang mendalam untuk dapat mengetahui secara pasti kebenaran cerita para sesepuh ini.

Namun demikian, di kawasan pemakaman Raksabaya, kampung Pengkolan, desa Purabaya, terdapat beberapa makam kuno. Makam-makam tersebut tersusun dari bebatuan granit yang terlihat seperti sudah berumur ratusan tahun. Sebagian masyarakat meyakini bahwa salah satu makam yang ada, yaitu makam yang diberi pagar besi, merupakan makam dari Raksabaya. Sedangkan Raksabaya, adalah gelar dari Raden Purbaya.
Menurut warga setempat, seringkali orang luar kota datang ke makam-makam tersebut untuk berziarah, karena mereka meyakini jika makam tersebut adalah makam leluhur mereka. Baik Raden Purbaya (Raksabaya) ataupun dari trah/marga Manggala (lainnya). Bahkan ada juga ahli-ahli spiritual yang sengaja datang untuk mendapatkan wangsit atau pusaka cemeti yang diyakini disembunyikan di salah satu makam.