Dalam beberapa tahun terakhir, topik Peradaban Lemuria menjadi tema yang ramai diperbincangkan di Indonesia, khususnya di sebagian masyarakat Sunda. Tema mengenai peradaban Lemuria ini menjadi seksi untuk dibahas, dikarenakan adanya sekelompok masyarakat yang meyakini bahwa peradaban lemuria adalah nenek moyang dari suku Sunda dan bangsa Indonesia secara umum. Peradaban ini diyakini ada di nusantara pada puluhan ribu tahun yang lalu.
Keyakinan ini diperkuat dengan narasi yang menyebutkan bahwa kata ‘lembur’ dalam bahasa Sunda memiliki asal usul dari kata ‘lemuria’. Bagi mereka, ‘lembur’ merupakan ‘lemuria’ yang dalam perkembangan waktu mengalami pergeseran bentuk kata. Hal ini pun, diperkuat dengan adanya pelafalan kata ‘lembur’ yang kadang berubah menjadi ‘lemur’, dimana konsonan ‘b’ dalam ‘lembur’ tidak diucapkan.
Untuk memperkuat keyakinan mereka, huruf-huruf lemuria pun diungkap ke publik sebagai penguat akan keyakinan keberadaan peradaban lemuria di Indonesia, khususnya tanah Sunda. Dalam membuktikan keyakinan mereka, temuan batu di gunung Sadahurip dijadikan sebagai bukti keberadaan tulisan Lemuria ini. Guratan-guratan yang ada pada dinding batu pun diyakini sebagai bukti tulisan lemuria.
Keyakinan tentang peradaban Lemuria ini pun ditarik masuk ke ranah yang ilmiah dan menjadi bahan kajian tertulis di beberapa media online. serta menjadi konten youtube yang menarik banyak penonton. Bahkan banyak sekali akun sosial media yang gencar mempromosikan keyakinan akan peradaban Lemuria ini. Pada akhirnya, banyak masyarakat awam yang membaca tulisan-tulisan dan menonton konten-konten youtube tersebut, ikut meyakini bahwa Lemuria adalah leluhur Sunda.
Sebenarnya, wacana mengenai peradaban Lemuria sudah muncul di dunia internasional sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Banyak peneliti dunia yang tertarik terhadap peradaban dan benua Lemuria ini. Pada akhirnya mereka pun menuliskan ketertarikan mereka dalam buku-buku yang mereka terbitkan. Bukan hanya peneliti, dunia film serta musik pun pernah ikut hype dalam menggandrungi peradaban Lemuria ini.
Seorang peneliti biologi berpengaruh asal Jerman, Ernst Haeckel, dalam bukunya yang berjudul “The Story Of Creation”, membuat pembahasan yang cukup mendalam mengenai peradaban Lemuria. Begitu juga di India, seorang peneliti Bernama Sumathi Ramaswamy menulis kajian mengenai peradaban Lemuria dalam bukunya yang berjudul “The Lost Land Of Lemuria : Fabulous Geographies, Catastrophic Histories”. Sumathi mengaitkan peradaban Lemuria dengan peradaban India kuno bernama Kumari Kandam. Selain mereka berdua, masih banyak lagi peneliti dunia lain yang tertarik terhadap Peradaban lemuria ini.
Pada peta hipotesis yang dibuat oleh Ernst Haeckel, bagian barat Indonesia kuno (Sumatera, Jawa, Kalimantan) merupakan bagian dari benua / peradaban Lemuria saat itu. Hal ini, -bisa jadi- merupakan salah satu penguat akan keyakinan peradaban Lemuria sebagai leluhur Sunda. Selain itu, buku yang dikeluarkan oleh Arysio Santos dengan judul “Atlantis: The Lost Continent finally Found”, serta buku karangan Staphen Oppenheimer berjudul “Eden In The East” dipastikan turut memperkuat keyakinan akan adanya peradaban maju di masa lalu Indonesia.
Namun, apakah benar adanya semua klaim yang diyakini oleh sekelompok masyarakat di tanah Sunda (Indonesia) ini? Apakah benar bahwa leluhur urang Sunda dan Indonesia adalah sebuah peradaban Lemuria yang memiliki teknologi maju? Untuk mencari kebenarannya, kita harus melihat kepada sejarah atau asal usul dari benua Lemuria ini.
Jika membaca tulisan di situs National Geographic Indonesia yang berjudul “Peradaban Tertua di Dunia dan Benua Kumari Kandam yang Hilang”, maka dapat ditemukan bahwa peradaban Lemuria hanyalah sebuah peradaban hipotesis belaka. Artinya, peradaban Lemuria masih berupa anggapan dasar yang masih perlu dibuktikan.
Istilah lemuria ini berasal dari akhir abad ke- 19. Ahli geologi Inggris, Philip Sclater bingung dengan keberadaan fosil lemur di Madagaskar dan India, tetapi tidak ada di dataran Afrika dan Timur Tengah. “Madagaskar dan India pernah menjadi bagian dari benua yang lebih besar,” kata Sclater, pada artikelnya di tahun 1864 yang berjudul “Mamalia Madagaskar’. Sclater kemudian menamai benua yang hilang tersebut sebagai ‘lemuria’.
Dengan demikian, peradaban Lemuria baru lahir pada akhir abad 19, dimana sebelum adanya tulisan Sclater, nama serta keberadaan Peradaban Lemuria ini tidak pernah ada. Maka tidaklah masuk logika jika peradaban yang bernama ‘lemuria’ ini telah hadir puluhan ribu tahun yang lalu, jika istilahnya saja baru hadir pada akhir abad 19.
Lebih jauh lagi, seumpamanya benua hipotesis versi Sclater ini benar-benar ada, maka namanya pun hampir dipastikan bukanlah ‘lemuria’. Ini dikarenakan nama ‘lemuria’ yang dihadirkan oleh Sclater, bukan hasil temuan atau fakta lapangan yang menyatakan peradaban Lemuria benar-benar ada. Nama ‘Lemuria’ yang disampaikan Sclater merupakan nama binatang yang sedang diteliti olehnya.
Menariknya, nama ‘lemur’ yang dimiliki oleh binatang yang sedang diteliti Sclater ini, bukan berasal dari nama wilayah tempat hidup binatang ini. Nama ‘lemur’ ini berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti hantu. Sedangkan nama dalam bahasa Madagaskar untuk binatang ini adalah Varika.
Dapat disimpulkan bahwa sangatlah mustahil untuk meyakini kata ‘lembur’ dalam bahasa Sunda merupakan bentuk modern dari kata ‘lemuria’. Kata ‘lembur’ sendiri telah menjadi bagian masyarakat Sunda sejak dahulu kala, sedangkan kata ‘lemuria’ dalam peradaban Lemuria baru muncul pada akhir abad ke-19.
Bukan cuma persoalan ‘lembur’ belaka yang terbantahkan. Penjabaran di atas akan berimplikasi kepada kebenaran keberadaan peradaban Lemuria di nusantara dan dunia. Jika melihat asal-usul nama peradaban/ benua Lemuria, maka mustahil pula di nusantara pernah ada sebuah peradaban yang bernama Lemuria dan menjadi nenek moyang urang Sunda dan Indonesia juga dunia.
Bagaimana dengan bukti tulisan lemuria pada batu di gunung Sadahurip? Seorang ahli geologi asal ITB Bandung, Sujatmiko, sudah menegaskan bahwa batuan yang diyakini sebagai prasasti tersebut hanyalah bongkahan batu biasa. Sama halnya dengan bebatuan di sekitarnya yang hanya berupa ikatan bebatuan. Menurut Sujatmiko, dimana-mana bentuk luar batuan akan cenderung seperti itu.
Jika dilihat dari bentuk dan tata letak guratan pada batu tersebut, sebetulnya masyarakat awam pun dapat melihat apabila batu tersebut bukanlah sebuah prasasti yang mengandung tulisan lemuria. Sebab, sebuah tulisan prasasti pasti akan ditulis dengan teratur dan rapi. Guratan di gunung Sadahurip terlalu acak untuk dikatakan sebagai sebuah prasasti. Apalagi jika klaimnya menyebutkan bahwa peradaban Lemuria itu super maju, maka akan sulit diterima akal untuk mengakui guratan batu tersebut sebagai tulisan lemuria.
Dengan dua bukti di atas, yaitu asal-usul istilah ‘lemuria’ dan sanggahan ahli geologi terhadap batu gunung sadahurip, dipastikan peradaban Lemuria bukanlah sebuah peradaban yang nyata. Peradaban Lemuria hanyalah berupa peradaban hipotesis yang faktanya tidak pernah ada. Kalaupun ada peradaban kuno di masa lalu tanah Sunda dan Indonesia, hampir dipastikan namanya bukan lemuria.
Peradaban dan kebudayaan Sunda dan Indonesia secara umum, memiliki nilai-nilai yang adiluhung yang harus kita jaga dan lestarikan. Akan tetapi, upaya melestarikannya pun harus dengan cara-cara yang baik dan adiluhung juga. Jika peradaban dan kebudayaan yang kita cintai ini dibangun melalui cerita yang penuh kebohongan--secara sengaja ataupun tidak--, maka sesungguhnya kita telah merusak nilai peradaban dan kebudayaan yang adiluhung itu sendiri.