Limawaktu.id - Sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mensyaratkan kandidat calon kepala daerah untuk melampirkan persetujuan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) masing-masing Partai politik pengusung.
Kebijakan sentralistik parpol tersebut tentunya berdampak pada perkembangan sistem demokrasi di Indonesia, yang menghendaki adanya desentralisasi otoritas dan distribusi kekuasaan dari pusat sampai daerah. Fenomena tersebut mendapat sorotan dari beberapa pengamat politik dan akademisi.
Dr. Dede Sri Kartini, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, mengatakan ruang lingkup pengambilan keputusan sebagai kandidat yang rekomendasinya ditentukan oleh Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol yang sentralistik, "Idealnya dalam rekrutmen penentuan calon itu desentralisasi, kalau calon presiden diserahkan pada DPP, calon gubernur urusan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) untuk level provinsi, calon walikota/bupati oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC), ini bertolak belakang dengan demokrasi karena tidak ada kewenangan kader partai dibawah untuk menentukan calon, semua serba DPP", paparnya.
Sementara itu menurut Direktur Eksekutif Eksplorasi Dinamika dan Analisa Sosial (EDAS) Bandung, Dr. Wawan Gunawan menuturkan fenomena sentralistik parpol berdampak pada zig-zag politik baik bakal calon maupun fungsionaris elit parpol sebagai sebuah bentuk ihktiar, karena memang politik adalah dunia kemungkinan, sehingga amat mungkin zigzag politik dilakukan oleh mereka yang memiliki hasrat kekuasaan, "Zigzag politik kerap dilakukan karena memang parpol sangat sentralistik. Apapun hasil keputusan DPC/DPD/DPW tetap saja bisa dimentahkan oleh DPP. DPP sendiri kesepakatannya selalu berdasarkan sabda Ketua Umum", tutur Alumnus S3 Ilmu Pemerintahan UNPAD ini.
Dilain pihak Pengamat Politik Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) Cimahi, Arlan Sidha, S.Ip., M.A. menyatakan jika menggunakan pendekatan demokrasi, hal tersebut tidak sehat karena pada akhirnya keputusan bermuara pada elit partai, "Jika SK DPP parpol tidak sejalan dengan kader atau akar rumput bisa menjadi preseden buruk untuk partai, selain tidak mengakomondasi keinginan kader didaerah, bisa muncul ketidakpercayaan masyarakat yang beranggapan miring kepada parpol, mulai dari tuduhan munculnya mahar politik sampai dengan nepotisme parpol".
Untuk menghentikan sentralistik parpol dalam pilkada, menurut Arlan harus ada komitmen partai membangun suasana demokrasi diinternal partai dengan cara menguatkan fungsi partai politik, "Daerah harus diberi keluasan untuk menentukan siapa calonnya atau desentralisasi parpol, selain buat regulasinya agar demokratiasi terasa ditubuh parpol didaerah sehingga pengurus parpol daerah memiliki andil terhadap kemajuan parpol dengan menciptakan demokrasi yang sehat, adanya kompetisi diantara kader terbaik dalam menentukan calon pemimpin", pungkasnya. (jk)
Setuju pisan.....apa apa harus DPP -,-
25 Desember 2017 11:13 Balas