Jumat, 22 Desember 2017 10:35

Memahami Narasi Budaya Ki Sunda

Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi [Net]

Penulis   :   Mahya Lengka

Sebut saja nama Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta Istimewa sekarang. Apa yang terbersit atau terbayang dalam pikiran kita mengenai sosok inspiratif dan bersahaja ini ?

Setidaknya kita bisa sebutkan beberapa bayangan dan kesan mengenainya.

Pertama, dari segi fisik, kita akan terbayang Iket Sunda yang selalu bertengger di atas kepalanya dan Pangsi (baju dan celana) hitam khas Sunda yang diadaptasi dengan gaya kekinian. Kemana-mana, dan dalam berbagai acara resmi maupun tidak resmi, ciri fisik ini selalu dikenakan. Kadang-kadang berganti dengan pangsi putih, dengan iket yang kadang hitam dan kadang putih.

Fashion khas ini sering ia kenakan, termasuk saat menerima tamu, bertamu, berbicara, berceramah, bahkan saat shalat sekalipun. Juga saat berpidato di atas podium Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) New York beberapa tahun lalu, sambil menggemakan salam Sunda, sampurasun.

Kedua, secara verbal, kita akan teringat ucapan salam khas Sunda, sampurasun, selalu keluar saat ia mulai berbicara dan mengakhirinya. Dengan gaya dan intonasi salam yang khas pula, Dedi’s Style, salam ini pula yang sempat heboh dan dilecehkan seorang lelaki berjubah putih dengan ungkapan Campur Racun.

Ketiga, secara naratif, Kang Dedi selalu bercerita tentang budaya, baik Sunda maupun Nusantara. Dan dalam banyak kesempatan di berbagai acara dan tempat berbeda, Kang Dedi selalu konsisten menyampaikan wacana kebudayaan kepada masyarakat. Bukan hanya menyampaikan wacana semata, tetapi juga memberikan edukasi dan contoh bagaimana kebudayaan Indonesia ini merupakan sebuah keunggulan dan kekuatan besar untuk “memanusiakan” dan “memajukan” bangsa Indonesia.

Karena ia seseorang yang beretnis Sunda, tentu saja yang ia kedepankan adalah budaya dan filosofi Sunda. Namun, itu hanya sebuah konteks saja, karena ia lahir dan tumbuh dari budaya Sunda. Sedangkan narasi besar yang hendak ia usung dan terus perjuangkan adalah budaya Nusantara secara keseluruhan. Salah satu buktinya adalah ia membuat peraturan di daerah Purwakarta agar seluruh pegawai pemda dan struktur ke bawahnya dan para pelajar di Purwakarta mengenakan sarung dan peci hitam setiap hari Jumat (bagi pria). Dan di persekolahan ia haruskan murid-murid Muslim untuk mempelajari Kitab Kuning. Kita sama-sama tahu, sarung, peci hitam, dan kitab kuning adalah bagian dari budaya Nusantara.

Nah, baik fashion busana (iket dan pangsi), salam verbal sampurasun, maupun narasi dan edukasi budaya (Sunda dan Nusantara) yang konsisten ia sosialisasikan dan perjuangkan, itu semua menunjukkan bahwa leadership Kang Dedi memang mengandalkan Kekuatan Budaya. Dan ini adalah ciri khas yang mencolok dari sosok Kang Dedi ini.

Karena itu, ketika menyebut nama Dedi Mulyadi, maka yang terbayang adalah kosakata budaya. Dan karena Kang Dedi berangkat dari kultur Sunda, maka publik pun mempersonifikasikan sosok Sunda adalah Dedi Mulyadi. Kang Dedi adalah Ki Sunda itu sendiri. Kalau kita ingin menemukan referensi tentang Sunda, baik dalam tataran nalar maupun manifestasi, maka sosok Dedi Mulyadi menjadi rujukan.

Jika kita menyimak bagaimana ia membahas serta menguraikan filosofi dan keluhungan Sunda, kita akan mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan tentang Sunda. Sehingga saya menyimpulkan, bahwa jika seorang peneliti ingin meneliti budaya Sunda, maka perhatikanlah Kang Dedi, dan banyaklah belajar darinya.

Sosok yang juga pengurus NU di Purwakarta ini, bukan saja lancar berbahasa Sunda dengan berbagai kosakata dan peribahasanya yang mendalam, tetapi juga mampu menjelaskan kesundaan secara filosofis, menarik, dan mudah dimengerti. Sebagai urang Sunda yang hidup di tatar Pasundan, saya pribadi sering tercengang dengan kemampuan Kang Dedi dalam berbahasa dan memfilosofikan budaya Sunda.

Dalam kaitan ini, dalam pantauan saya, masih sangat jarang tokoh Sunda yang memiliki kemampuan dan penguasaan kesundaan seperti halnya Kang Dedi. Untuk kalangan kepala daerah di Jabar, saya lihat dia mungkin satu-satunya yang memiliki kapasitas dan penguasaan seperti ini.

Memang ada beberapa bupati atau walikota di Jabar, bahkan gubernur sendiri, yang juga turut mensosialisasikan budaya Sunda di daerah kewenangannya. Namun, apa yang mereka lakukan itu TANGGUNG, dan terlihat tanpa konsep dan visi yang jelas serta sistematis. Berbeda dengan Kang Dedi, ia all out menjadikan budaya Sunda sebagai andalan dalam kebijakan dan realisasi leadershipnya.

Jadi, tidak usah heran jika untuk saat ini Ki Sunda itu bermanifestasi dalam sosok Dedi Mulyadi. Dan masyarakat Jabar mengakui dan merasakannya. Bahkan Bupati Garut pun (Kang Rudi), dalam acara peresmian patung Maung di Koramil Cisewu Garut 31 Maret 2017 lalu,  yang diinisiasi oleh Kang Dedi, mengakui secara jujur kapasitas dan posisi Kang Dedi dalam kesundaan. Saya pikir, mayoritas masyarakat Jabar juga mulai mengakuinya, terutama yang mengamati dan memperhatikan sosok-sosok figur di Jabar.

Budaya sebagai kekuatan untuk membangun daerah dan negeri nampak sekali dalam berbagai aktivitas dan gebrakan Kang Dedi. Saat memberi sambutan pada acara peresmian Maung Cisewu, misalnya, ia banyak membahas filosofi Maung bagi masyarakat Jabar. Dengan maung, ia kaitkan dengan kosmologi, ekosistem, hingga ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Hanya dari tema Maung ia bahas gunung, hutan, sungai, bendungan, irigasi, pertanian, kesejahteraan rakyat, sekaligus kewibawaan tentara bersama rakyat. Baginya, maung dalam budaya Sunda bukan sekadar sebuah nama hewan, tetapi juga sarat filosofi dan kebijaksanaan.

Sama halnya dengan sosok mitos Nyi Roro Kidul. Ketika menguraikan makna mitologisasi Ratu Pantai Selatan dalam kacamata filosofis dan fenomenologis urang Sunda ini, Kang Dedi mampu menjelaskannya dalam perspektif yang luwes, rasional dan spiritual, bahkan teologis. Sehingga, jika selama ini sebagian orang menuduhnya musyrik karena Kang Dedi membuatkan Kereta Kencana untuk Sang Ratu Selatan itu, mungkin mereka akan paham jika mendapatkan penjelasan dari Kang Dedi langsung. Kalaupun mereka tetap menuduh musyrik juga, ya itu mah karena kapasitas nalar dan pemahaman mereka yang mungkin terbatas dan terhijab, sehingga sulit memahami ilmu baru bagi mereka.

Inilah filosofi dan pendekatan budaya Sunda. Ketika Kang Dedi datang ke Garut untuk menolong Nenek Rokayah di Muara Sanding, yang dituntut 1,8 milyar oleh anaknya di pengadilan, itu juga tidak terlepas dari narasi budaya itu. Di mana letak nilai-nilai budayanya? Begini...

Dalam filosofi Sunda, ada ungkapan sebagai berikut:

“Tong munjung ka gunung, tong muja ka sagara. Tapi munjung ka indung, jeung muja ka bapa.”

Terjemahan bebasnya sebagai berikut:

“Jangan sujud ke gunung, jangan memuja laut. Tapi sujudlah kepada ibu, dan pujalah ayah.” Maksud mudahnya, “Muliakan ibu dan ayah, kedua orang tua.” Inilah ajaran birrul waalidayn dalam Islam.

Kang Dedi bercerita bahwa ia sangat sedih bila ada seorang ibu (apalagi sudah tua) diperlakukan tidak sepatutnya oleh anak-anaknya. Ia teringat ibunya yang telah berjuang antara hidup dan mati untuk anak-anak. Maka ketika mendengar kasus Nenek Rokayah, ia tergerak untuk berbuat apa yang bisa dilakukan. Ia juga ingin bertemu dengan anak yang memperkarakan ibunya itu secara kekeluargaan, atau secara hukum sekalipun.

Mengapa ia bertindak demikian? Jawabnya, karena dalam budaya Sunda (juga Islam), ibu dan ayah harus dimuliakan oleh anak-anaknya. Untuk mereka hanya pantas diucapkan kata-kata mulia dan lembut. Mereka layak diagungkan oleh anak-anak. Bahkan, jika pun boleh sujud dan memuja, selain kepada Tuhan, anak-anak itu mesti melakukannya untuk ibu bapaknya.

Tentu saja maksud dari ungkapan “Munjung ka indung muja ka bapa” adalah bahasa kiasan, bukan bahasa sebenarnya. Itu adalah ungkapan untuk memuliakan ayah dan ibu sebegitu rupa.

Nah, ketika ada seorang anak yang menuntut ibu sepuhnya ke pengadilan, jelas itu tidak Nyunda, bertentangan dengan budaya Sunda. Karena itulah Kang Dedi tergerak untuk membantu dan membela Nenek Rokayah.

Dalam sebuah kesempatan ceramah keagamaan di masjid agung Ujungberung Bandung bulan Januari lalu, Kang Dedi menyampaikan (kurang lebih) bahwa budaya Sunda itu welas asih, silih asah, silih asih, dan silih asuh. Budaya Sunda itu sangat toleran, mencintai kedamaian, keindahan, dan menghindari hal-hal yang menjijikkan.

Kalau pun sekarang di Jabar ada beberapa kejadian intoleransi, dipastikan bahwa itu bukan budaya Sunda, bukan budaya Jabar. Itu adalah budaya pendatang. Dan kalau kita ingin kedamaian, kerukunan, kemakmuran dan kesejahteraan tercipta di negeri ini, maka angkatlah budaya luhur kita dan manifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Maka, berkaitan dengan fenomena di negeri kita akhir-akhir ini, tindakan intoleran dan kekerasan itu, bukan budaya pribumi, kawan…! Itu budaya pendatang…! Dan kita memiliki budaya luhur yang bisa diandalkan… Itulah kekuatan kita, Indonesia Nusantara...

Baca Lainnya