Rabu, 18 April 2018 17:59

Kekosongan Hukum Dalam Kampanye Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Januar Solehuddin, Komisioner Panwaslu Kabupaten Bandung Divisi Hukum Penindakan Pelanggaran.
Januar Solehuddin, Komisioner Panwaslu Kabupaten Bandung Divisi Hukum Penindakan Pelanggaran. [Istimewa]

Penulis: Januar Solehuddin, Komisioner Panwaslu Kabupaten Bandung Divisi hukum Penindakan Pelanggaran

Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018 akan digelar secara serentak pada tanggal 27 Juni 2018 di 171 Daerah yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pesta demokrasi yang digelar kali ini telah disiapkan secara matang oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan dikeluarkannya beberapa peraturan baru ataupun beberapa peraturan yang diperbaharui mengenai Pemilihan Kepala Daerah. Seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan/atau Walikota telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan ini dimaksudkan untuk lebih menyempurnakan mengenai hal-hal yang dikira masih diperlukan perbaikan. Seperti halnya ada beberapa Pasal dalam peraturan tersebut yang menyatakan larangan tetapi tidak ada sanksi yang mengaturnya. Pada saat ini perbaikan tersebut belum mencapai kata sempurna. Ini diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya perkembangan yang cukup pesat ditengah masyarakat. sesuai dengan asas ibi societas ibi ius yang artinya adalah dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum disini bukan saja berarti hukum tertulis, tetapi hukum tidak tertulispun seperti hukum adat diakui dan dijunjung tinggi keberadaannya oleh Pemerintah sebagaimana tercantum didalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Tetapi oleh karena kita Indonesia menganut sistem hukum Eropa Continental maka cakupan keberadaan hukum adat hanya berlaku pada ruang, waktu dan kondisi tertentu saja. tidak bisa kita memposisikan hukum adat pada posisi yang paling tinggi. Ini diakibatkan oleh adanya asas Nullum Delictum noella poena sine praevia lege poenali atau asas legalitas menyebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Maksud daripada asas tersebut adalah segala sesuatu yang mengatur tata nilai kehidupan masyarakat Indonesia harus diatur dalam suatu peraturan yang bersifat dan memaksa.

Dalam Pasal 69 huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang: menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kemudian sanksinya diatur pada Pasal 187 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Apabila kita perhatikan secara seksama dalam Pasal tersebut hanya disebutkan mengenai Kampanye Pemilihan Bupati/Walikota, sedangkan untuk Pemilihan Gubernur tidak disebutkan. Selanjutnya apabila kita melihat aturan yang secara khusus mengenai kampanye bisa kita lihat dalam Pasal 68 ayat (1) huruf h Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota yang menyatakan bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan untuk sanksinya bisa dilihat dalam Pasal 74 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota yang menyatakan bahwa pelarangan atas ketentuan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf i dikategorikan sebagai tindak pidana dan dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Setelah membaca dan mengamati Undang-Undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tidak ada frasa yang secara jelas menyebutkan sanksi kampanye yang memakai fasilitas Pemerintah dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Ini menjadi dilema bagi para penegak hukum atau penyelenggara pemilu untuk menindak secara tegas pelaku yang melanggar ketentuan tersebut. Apabila kita melihat peran Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah sudah jelas bahwa Pemerintah beserta infrastruktur yang ada haruslah bersifat netral dan menjaga integritasnya guna kepentingan melayani masyarakat secara utuh dan sempurna.

Kekosongan aturan ini mengakibatkan maraknya pelanggaran di beberapa daerah yang memakai fasilitas Pemerintah untuk kepentingan kampanye. Ini diakibatkan oleh adanya asumsi para peserta pemilu bahwa dalam kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang menggunakan fasilitas Pemerintah itu diperbolehkan karena tidak adanya aturan mengenai hal tersebut. Kekosongan ini harus segera dijawab secara responsif oleh Pemerintah dan DPR untuk merumuskan kembali terkait penggunaan fasilitas Pemerintah dalam kampanye pada pemilihan Gubernur karena apabila tidak ditanggapi secara serius maka pesta demokrasi yang diharapkan akan terciderai oleh maraknya penggunaan fasilitas Pemerintah pada saat kampanye. Ini akan menimbulkan pernyataan negatif dan kekacauan dalam masyarakat sehingga akan mengakibatkan tidak percayanya masyarakat kepada Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah.

Amanat reformasi untuk menjalankan demokrasi yang benar-benar berasal dari rakyat ini sebenarnya sudah tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar. Lebih jauh lagi apabila kita membiarkan hal ini tetap terjadi akan mengakibatkan terus menurunnya partisipasi masyarakat dalam setiap Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah. Sudah kita sadari bahwa ini menjadi bagian tanggung jawab bersama kita sebagai warga negara yang peduli akan keberlangsungan proses demokrasi di tanah air tercinta yaitu Republik Indonesia.

Baca Lainnya