Senin, 14 Mei 2018 13:22

Jangan biarkan Anak menjadi Radikal

Illustrasi
Illustrasi [Pixabay]

Penulis: DR. Dina Y. Sulaeman

Pada November 2014, wartawan BBC, Mark Lowen, menemui seorang remaja usia 13 tahun yang sedang dalam masa persiapan bergabung dengan ISIS di Turki selatan.

Dia ingin dipanggil sebagai "Abu Hattab".
Ia bergabung dengan kelompok jihad Syam al-Islam. Dia dididik hal ihwal syariah dan belajar menggunakan senjata, dan dengan bangga menunjukkan gambar ia membidik dengan senapan mesin.

Sekarang ia menghabiskan hari-harinya dengan selalu terhubung secara online, menonton video jihad dan chatting di Facebook dengan para petarung ISIS. Dalam beberapa pekan, katanya, dia akan pergi ke kubu ISIS di Raqqa di Suriah untuk menjadi seorang prajurit jihad belia.

Menurut laporan Human Rights Watch para prajurit bocah itu digunakan sebagai pelaku bom bunuh diri dan penembak jitu.

Jurnalis independen, Vanessa Beeley, pada September 2016 mengunjungi korban bom bunuh diri di kawasan Al Qaa, Suriah. Si korban bernama Jean Houri.

Pada 27 Juni 2016,  terjadi aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh 4 orang. Jean berlari untuk membantu seorang korban akibat ledakan si pengebom ke-3, yang membuat kaki kirinya terluka. Tapi kemudian, si pengebom yang ke-4 meledakkan dirinya, sehingga kaki kanan Jean pun hancur.

Para pengebom bunuh diri itu masih remaja. Mereka terlihat dalam pengaruh obat bius, salah satunya bahkan sudah dihujani lebih dari 50 peluru [oleh aparat], tapi mampu terus berjalan dan mampu meledakkan dirinya.

Si bocah Omran Daqneesh yang membuat heboh sedunia karena fotonya di kursi oranye, saat dilacak jejak digitalnya, terlihat sedang pura-pura menjadi “jihadis” yang sedang memenggal bonekanya.

Baru-baru ini, Desember 2016, di internet tersebar video seorang ayah yang secara terbuka mengakui menyuruh Anak-anak perempuannya melakukan aksi bom bunuh diri di Damaskus.

Seperti dikatakan Carla Ortiz, bahkan anak teroris pun punya hak untuk memilih. Menurut seorang teman yang memahami cara kerja otak.

“Anak-anak di bawah 11 tahun faktor kritisnya belum berperan, sehingga sugesti-sugesti yang masuk tidak dihadang oleh reticular activating system (pintu gerbang yang menjaga pikiran bawah sadar). Anak-anak itu pun menjadi 'pengantin' yang amat mudah dibentuk. Proses fokus, enviromental hypnosis, figur otoritatif, repetisi, memudahkan suatu sugesti masuk menjadi belief [keyakinan] dan menguat.”

Artinya, orang tua merekalah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas munculnya para pembunuh cilik itu.

Lalu, apa yang bisa dilakukan para ayah-bunda?

Pertama, ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam adalah ajaran yang welas asih. Nabi Muhammad adalah Nabi yang sangat welas asih. Kalaupun beliau berperang, selalu atas dasar alasan yang valid (bukan tuduhan membabi-buta) dan dengan etika perang yang ketat (bukannya membantai rakyat sipil secara membabi-buta dengan bom bunuh diri).

Kedua, waspadai pemakaian internet anak-anak. Saya menemukan kasus seorang remaja putri yang amat pintar tapi dibiarkan oleh ortunya berselancar sendirian di dunia maya, akhirnya menjadi sangat Radikal. Dia bahkan punya keinginan membunuh tokoh-tokoh yang dia benci.

Seorang teman menceritakan bahwa grup WA keponakannya (masih SMP, di sekolah Islam), sudah biasa menyebarkan foto-foto kepala terpenggal dan ujaran-ujaran kebencian.

Ketiga, mulailah dari diri sendiri. Jangan menyebarkan kebencian pada sesama manusia, karena akar radikalisasi adalah takfirisme [suka mengkafir-kafirkan orang lain].

Atau, kalau ditemukan ada akun-akun yang secara provokatif menunjukkan kesesatan, jangan langsung terpengaruh. Sangat mungkin akun-akun itu memang berupaya mengadu domba. Dan lebih baik lagi: lawanlah! Bila ada orang (ustaz sekalipun) yang gemar mengkafir-kafirkan atau men-share berita fitnah, proteslah.

Ingatlah selalu bahwa proses radikalisasi banyak terjadi melalui media sosial. Artinya, kita harus melawannya pun lewat media sosial. Lawanlah konten negatif yang mereka sebarkan, dengan konten positif dari kita, sebanyak-banyaknya.

Baca Lainnya