Penulis: Ashoff Murtadha, Direktur Studi Islam Bandung
Dulu saya mengaguminya. Tahun 1994 saya bela-belain subuh-subuh datang untuk mendengarkan orasinya tentang Indonesia di Bandung. Tahun 1998 saya turut bereuforia saat ia berdiri di depan menurunkan seorang presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Karena tertarik dengan sosoknya, tidak sedikit buku yang ia tulis atau mengenainya yang saya usahakan untuk bisa saya beli.
Tahun 1999, saya memilih partainya, dan berharap ia menjadi presiden. Namun ternyata ia cukup menjadi ketua MPR saja.
Tahun 2004, ia nyapres. Saya ikut membuat stiker dan buku saku untuk mensosialisasikannya. Dari uang sendiri. Saat kalah dan kemudian ia datang ke Bandung, saya usahakan datang ingin mendengar apa yang ia akan katakan.
Tahun-tahun berganti, ada dinamika. Dan saya tetap menghormatinya. Setidaknya saya menahan diri untuk berkomentar negatif mengenainya, betapa pun saya mulai melihat ketidaksetujuan dari ucapan dan perilakunya.
Hingga 2014 lalu, di masjid ia berceramah menganalogikan pilpres dengan perang Badar. Perang Badar adalah perang antara Rasulullah (kaum Muslimin) dengan kaum musyrikin. Kita tahu, pilpres bukan ajang perang antara keimanan dan kekafiran. Tetapi ia menganalogikan pilpres sebegitu rupa. Keterlaluan...!
Tentunya tak mungkiin ia mengasumsikan diri dan kelompoknya sebagai kaum musyrikin. Dengan analogi itu ia tak pelak sedang mengilusikan diri dan kelompoknya sebagai pihak Muslimin dan kelompok lainnya sebagai kaum musyrikin. Padahal kedua capres sama-sama Muslim, dan masing-masing didukung oleh mayoritas umat Islam.
Ini analogi yang janggal, seolah pengucapnya belum pernah mendengar hadits Nabi Saw, "Barangsiapa mengkafirkan sesama Muslim berarti ia kafir." Memandang sesama Muslim sebagai kafir atau musyrik, apakah dibenarkan Nabi?
Namun hingga saat itu saya belum mau berkomentar mengenainya. Sebab, kalau berkomentar, maka yang akan keluar adalah komentar negatif, yang justru masih saya tahan untuk terucap atau tertulis. Sekalipun makin hari makin saya temukan keganjilan, saya tetap menahan diri.
Karena, bagaimana pun, dulu ia seorang cendekiawan yang pikiran dan buku-bukunya sering saya baca, dan cukup mempengaruhi generasi semasa saya waktu itu. Saya menghormatinya.
Hingga muncul lontaran ucapannya yang terbaru, yang kini sedang ramai dibincangkan publik. Ia mendikotomi partai-partai yang ada di Indonesia sebagai partai Allah di satu pihak, dan partai Setan di sisi yang lain.
Tentu saja tidak mungkin ia menggrupkan partainya dan teman-temannya sebagai partai setan. Yang ia maksud dengan partai setan adalah partai-partai yang tidak sejalan dengan pilihan politiknya. Lalu siapa partai Allah menurut pikirannya? Ya, partai yang berada dalam kelompoknya, tentu saja.
Sama dengan analogi "perang Badar", ucapannya ini sama-sama tidak berdasar. Ini hanya truth claim, dan tidak mencerminkan sosok intelektual yang dulu saya kenal. Tak pelak, ini makin menenggelamkan kebesarannya yang sudah lama roboh --setidaknya di mata saya.
Saya sangat menyayangkan sosok yang dulu pernah saya kagumi ini. Bahwa ia suka mengkritik dari dulu dan sekarang masih terbiasa, memang iya. Itu memang karakter khasnya, apalagi ia kini lebih memerankan diri sebagai seorang politisi. Namun saya berharap, saat usianya makin senja, kritik dan ucapannya berkelas dan mencerahkan. Memberi penerangan, bukan menyelimutkan kegelapan.
Sebagai orang yang pernah mengagumi dan belajar dari pikiran dan bukunya, saya berharap ia menunjukkan sosok yang arif dan mendidik. Agar kelak dikenang manis dalam hati dan jiwa yang sedang menjalani perjalanan menuju Tuhan.
Berbeda pendapat dengan keras itu biasa, apalagi dalam tema politik. Tetapi, mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat itu kewajiban yang tidak bisa dihindari oleh seorang cendekiawan. Dalam hal mentalitas, emosi dan perilaku, seorang cendekiawan mesti berbeda dengan kebanyakan orang.
Orang salih itu tidak akan pernah merasa dirinya salih. Karena merasa diri salih dan suci itu dilarang Tuhan. Apalagi sambil menuduh orang yang pandangan politiknya bersebarangan sebagai kelompok setan.
Saya tetap mendoakan untuknya kebaikan. Tetapi rupanya kini saya akan mulai turut berkomentar sewajarnya.
Kebenaran takkan menjadi kebatilan, sebagaimana kebatilan takkan menjadi kebenaran. Selamanya...!