Limawaktu.id, Jakarta - Indonesia bukan negara agama, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Fatwa Keagamaan sangat diperlukan dalam kehidupan kenegaraan. Pasalnya, fatwa menjadi tuntunan dan landasan dalam melaksanakan aktivitas keseharian yang sesuai ajaran agama, terutama aktivitas yang beririsan dengan kebijakan negara. Untuk itu, pemberian fatwa keagamaan perlu terus didorong dengan memperhatikan tiga hal.
“Pertama, terus lakukan pemberian fatwa keagamaan dengan tetap memperhatikan manhajul ifta yang valid dan berorientasi mencari solusi masalah (makharijiy), meringankan (at-taysir), dan membawa kebaikan bagi publik (rahmatan lil ummah),” ujar Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat membuka Webinar Internasional Sekolah Tinggi Ilmu Fiqih Syeikh Nawawi Tanara (STIF Syentra) secara virtual, dari Kediaman Resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 02, Jakarta Pusat, Rabu (27/12/2023).
Kedua, ia menekankan pentingnya menyiapkan para kader ulama yang memiliki kemampuan dan kompetensi sebagai seorang mufti atau pemberi fatwa.
“Perguruan tinggi dan pondok pesantren memiliki peran strategis dalam penyiapan kader ulama mufti ini. Oleh karenanya, perlu mengambil inisiatif lebih proaktif melakukan program tersebut,” pinta Wapres.
Ketiga, tambahnya, perlu dibangun sinergi dan kemitraan lebih kuat antara lembaga keagamaan yang menerbitkan fatwa dengan aparatur pemerintahan.
“Sehingga, kebijakan negara dapat dijalankan lebih optimal karena ada landasan fatwa keagamaan,” terang Wapres.
Wapres juga mengingatkan, kebijakan negara yang tidak sejalan dengan fatwa keagamaan akan dipandang sebagai kebijakan yang kurang memiliki daya dukung dari warga negara pemeluk agama tersebut. Sebab, jika ada dikotomi antara kebijakan negara dan ajaran agama, maka akan timbul problem kepatuhan.