Sabtu, 6 Agustus 2022 22:04

AASB : UU Omnibus Law Cipta Kerja Mengabaikan Asas Keterbukaan

Penulis : Bubun Munawar
Aliansi Aksi SEjuta Buruh Jawa Barat menggelar longmarch dari Kota Bandung ke Jakarta, Sabtu (6/8/2022)
Aliansi Aksi Sejuta Buruh Jawa Barat menggelar longmarch dari Kota Bandung ke Jakarta, Sabtu (6/8/2022) [Istimewa]

Limawaktu.id, - Presiden Jokowi telah memerintahkan para pembantunya untuk merevisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun seperti apa bentuk revisinya, masih belum jelas. Semua masih bingung. Apakah revisi ala kadarnya sekedar basa-basi politik atau revisi total yang mendasar yang melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.

Siaran Pers Aliansi Aksi Sejuta buruh menyebutkan, Secara gamblang UU Omnibus Law Cipta Kerja ini melanggar Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu mengabaikan asas keterbukaan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan. Sehingga sebagai pihak terdampak langsung dalam hal ini pekerja/buruh tidak dapat memberikan masukan baik dalam tahap perencanaan dan penyusunan draft/naskah maupun saat pembahasan di DPR.

Karena mengabaikan asas keterbukaan itu maka Materi Muatan UU Cipta Kerja ini banyak melanggar kaidah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana materi-materi muatannya di antaranya mengabaikan asas pengayoman, asas keadilan dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan di mana setiap Materi Muatan Peraturan

“Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan dan rasa keadilan sehingga menciptakan ketenteraman dalam masyarakat,” ungkap Arif Minardi, koordinator Aliansi Aksi Sejuta Buruh Jawa Barat, Sabtu, (6/8/2022)

Menurut .dia, Akibat proses pembentukan UU yang banyak melanggar asas sebagaimana telah disebutkan diatas, maka pekerja/buruh merasakan ketidakadilan serta hilangnya perlindungan dari negara dalam masa bekerja karena status kerja yang tidak ada kepastian akibat kerja kontrak, alih daya (outsourcing) dan ancaman PHK yang setiap saat menghantuinya serta aturan yang menurunkan standar kesejahteraan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan, keserasian dan keselarasan serta produktivitas dalam hubungan industrial.

Di samping itu, kata dia,  UU Omnibus Law Cipta Kerja juga telah mengabaikan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena mulai dari perencanaan dan penyusunannya tidak melibatkan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit dan ini artinya tidak terjadi proses komunikasi, konsultasi, musyawarah secara tuntas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (19) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Demikian juga halnya UU Omnibus Law Cipta Kerja telah mengabaikan UU No. 21  Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) & (2), pasal 25 ayat (1) & (2), pasal 27, yang pada dasarnya SP/SB berfungsi memperjuangkan kepentingan anggotanya agar sejahtera dan berperan dalam mewakili pekerja/buruh dalam LKS Tripartit. Faktanya SP/SB tidak dilibatkan dalam perencanaan penyusunan draft/naskah RUU Cipta Kerja padahal ini menyangkut nasib lebih dari 56 juta pekerja formal beserta keluarganya yang artinya juga pasti mempengaruhi kesejahteraan rakyat secara umum.

“Pasca Keputusan MK terkait dengan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja, seisi republik hingga kini nampaknya masih bingung. Begitupun para pakar hukum dan akademisi pun juga dibikin geleng-geleng kepala,” katanya.

Seperti disuarakan oleh para pakar hukum, salah satunya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar yang mengatakan pasca keputusan MK tersebut membingungkan.

Zainal mengatakan dalam keputusan MK terdapat dua konsep yakni konstitusional bersyarat yang dianggap UU Cipta Kerja berlaku untuk sementara sampai direvisi. Kedua adalah inkonstitusional bersyarat yang dianggap tidak konstitusional dan tidak diberlakukan sampai direvisi.

Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti juga menilai putusan memperlihatkan bahwa MK tak hanya mempertimbangkan aspek hukum, tetapi juga politik. Putusan inkonstitusional bersyarat dinilai jalan tengah yang menimbulkan kebingungan.

Baca Lainnya